Kata “sistem”, menurut Nur Khalif Hazim, A.R. Elham berarti susunan, kesatuan dari bagian-bagian yang saling bergantung. Sistem merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri atas berbagai bagian atau subsistem.
Kata “sistem”, menurut Nur Khalif Hazim, A.R. Elham berarti susunan, kesatuan dari bagian-bagian yang saling bergantung. Sistem merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri atas berbagai bagian atau subsistem. Subsistem ini saling berkaitan yang tidak boleh bertentangan, dan apabila memang terjadi pertentangan, maka selalu ada jalan untuk menyelesaikannya.
Begitu juga dengan sistem hukum haruslah tersusun dari sejumlah bagian-bagian yang dinamakan subsistem hukum yang secara bersama-sama mewujudkan kesatuan yang utuh. Sistem hukum bukan sekedar kumpulan peraturan hukum, tetapi setiap peraturan itu saling berkaitan satu dengan yang lainnya, serta tidak boleh terjadi konflik atau kontradiksi di antara subsistem yang di dalamnya.
Sistem hukum di Indonesia seperti dalam sistem hukum positif lainnya terdiri atas subsistem hukum pidana, subsistem hukum perdata, subsistem hukum tata Negara, subsistem hukum administrasi Negara, dan sebagainya, yang kesemuanya itu mempunyai perbedaan, namun tetap dalam satu kesatuan, yaitu sistem hukum Indonesia.
Sistem hukum menurut Lili Rasyidi dan I.B. Wyasa Putra, yaitu :
Suatu kesatuan sistem yang tersusun atas integritas sebagai komponen sistem hukum, yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri dan terikat dalam satu kesatuan hubungan yang saling terkait, bergantung, mempengaruhi, bergerak dalam satu kesatuan proses, yakni proses sistem hukum untuk mewujudkan tujuan hukum.
Kemudian Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa sistem hukum itu merupakan tatanan, suatu kesatuan yang utuh yang terdiri atas bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain. Adapun Marwan Mas menjelaskan bahwa sistem hukum adalah susunan sebagai satu kesatuan yang tersusun dari sejumlah bagian yang dinamakan subsistem hukum, yang secara bersama-sama mewujudkan kesatuan yang utuh.
Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan hukum dalam satu kesatuan, diperlukan kesatuan sinergi antara unsur-unsur atau komponen yang terkandung di dalam sistem hukum seperti masyarakat hukum, budaya hukum, filsafat hukum, pendidikan hukum (ilmu hukum), konsep hukum, pembentukan hukum, bentuk hukum, penerapan hukum dan evaluasi hukum.
Unsur-unsur atau komponen sistem hukum di atas dapat dijelaskan oleh Lili Rasyidi, dan I.B. Wyasa Putra, yaitu sebagai berikut.
Masyarakat hukum, merupakan himpunan kelompok kesatuan hukum, baik individu ataupum kelompok yang strukturnya ditentukan oleh tipenya masing-masing (sederhana, Negara, atau masyarakat internasional).
Budaya hukum, merupakan pemikiran manusia dalam usahanya mengatur kehidupannya; dikenal tiga budaya hukum masyarakat hukum, yaitu budaya hukum tertulis, tidak tertulis dan kombinatif.
Filsafat hukum, merupakan formulasi nilai tentang cara mengatur kehidupan manusia; dapat bersifat umum (universal), dapat bersifat khusus (milik suatu masyarakat hukum tertentu).
Ilmu pendidikan hukum, merupakan media komunikasi antara teori dan praktik hukum; juga merupakan media pengembangan teori-teori hukum, desain-desain, dan formula-formula hukum praktis (konsep hukum).
Konsep Hukum, merupakan formulasi kebijaksanaan hukum yang ditetapkan oleh suatu masyarakat hukum; berisi tentang budaya hukum yang dianutnya (tertulis, tidak tertulis, atau kombinatif), berisi formulasi nilai hukum (konsepsi filosofis) yang dianutnya; dan mengenai proses pembentukan, penetapan, pengembangan dan pembangunan hukum yang hendak dilaksanakannya.
Pembentukan hukum, merupakan bagian proses hukum yang meliputi lembaga –aparatur– dan sarana pembentukan hukum; menurut konsep hukum yang telah ditetapkan; termasuk prosedur-prosedur yang harus dilaluinya.
Bentuk hukum, merupakan hasil proses pembentukan hukum; dapat berupa peraturan perundang-undangan (jika pembentukannya melalui legislative, atau lembaga-lembaga Negara yang melaksanakan fungsi legislatif), dapat berupa keputusan hakim (jika hakim diberi kewenangan untuk itu).
Penerapan hukum, merupakan proses kelanjutan dari proses pembentukan hukum; meliputi lembaga, aparatur, saran, dan prosedur penerapan hukum.
Evaluasi hukum, merupakan pengujian kesesuaian antara hukum yang berbentuk dengan konsep yang telah ditetapkan sebelumnya, dan pengujian kesesuaian antara hasil penerapan hukum dengan undang-undang dan tujuan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya dalam konsep ataupun dalam peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya menurut Lawrence M. Friedmann, sistem hukum itu terdiri atas struktur, substansi, dan budaya hukum. Struktur merupakan hal yang menyangkut lembaga-lembaga (pranata-pranata), seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif, bagaimana lembaga itu menjalankan fungsinya.
Struktur berarti juga bagaimana lembaga legislatif menjalankan fungsinya, berapa anggota yang duduk sebagai anggota, apa yang boleh dann tidak boleh dilakukan oleh presiden, bagaimana aparat menegakkan hukum (polisi) menjalankan tugasnya dan lainnya. (structure also means how the legislature is organized, how many members sit on the federal trade commission, what the president can (legally) do or not do, what procedures the police department follows, and so on).
Adapun menurut Soleman B. Taneko pernah menjelaskan bahwa struktur hukum, mempunyai pola, bentuk dan gaya. Struktur adalah badan, rangka kerja, dan bentuk tetap. Pengadilan atau kepolisian, merupakan organisasi. Substansi adalah ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia, yaitu peraturan, norma-norma dan pola perilaku masyarakat dalam suatu sistem (substancy, by this mean the actual rules, norms, and behaviour patterns of people inside the system).
Dengan demikian, substansi hukum itu pada hakikatnya mencakup semua peraturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, seperti keputusan pengadilan yang dapat menjadi peraturan baru ataupun hukum yang baru, hukum materiil (hukum substantif), hukum formil (hukum ajektif), dan hukum adat.
Di samping struktur dan substansi hukum, sistem hukum yang ketiga adalah budaya hukum, yaitu sikap masyarakat, kepercayaan masyarakat, nilai-nilai yang dianut masyarakat dan ide-ide atau pengharapan mereka terhadap hukum dan sistem hukum. (the legal culture, by this we mean people’s attitudes toward law an the legal system-their beliefs, values, ideas, and expectation) Dalam hal ini kultur hukum merupakan gambaran dari sikap dan perilaku terhadap hukum, serta keseluruhan faktor-faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang sesuai dan dapat diterima oleh warga masyarakat dalam kerangka budaya masyarakat.
Jika diibaratkan sebuah mesin, struktur adalah mesinnya, substansi adalah produk yang dihasilkan oleh mesin, sedangkan budaya hukum merupakan orang yang menentukan hidup dan matinya mesin tersebut layak digunakan atau tidak. Perwujudan dari budaya hukum masyarakat adalah adanya kesadaran hukum, dengan indikator berupa adanya pengetahuan hukum, sikap hukum, dan perilaku hukum yang patuh terhadap hukum.
Mengukur hukum sebagai suatu sistem, menurut Fuller yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo harus diletakkan pada delapan nilai-nilai yang dinamakan principle of legality (prinsip legalitas) yang menjadi syarat keberadaan sistem hukum, memberikan pengkualifikasian bagi sistem sebagai satu kesatuan yang mengandung suatu moralitas tertentu. Kedelapan nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut.
Harus ada peraturan terlebih dahulu; hal ini berarti, tidak ada tempat bagi keputusan secara ad hoc, atau tindakan yang bersifat arbiter.
Peraturan itu harus diumumkan secara layak.
Peraturan itu tidak boleh berlaku surut.
Perumusan peraturan itu harus jelas dan terperinci; ia harus dapat dimengerti oleh rakyat.
Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin.
Di antara semua peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain.
Peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah.
Harus terdapat kesesuaian antara tindakan para pejabat hukum dan peraturan yang telah dibuat.
ISHAQ, SH., M.HUM.
2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Cet. 1. PT Sinar Grafika, Jakarta. Hlm. 181-184
Kata “sistem”, menurut Nur Khalif Hazim, A.R. Elham berarti susunan, kesatuan dari bagian-bagian yang saling bergantung. Sistem merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri atas berbagai bagian atau subsistem. Subsistem ini saling berkaitan yang tidak boleh bertentangan, dan apabila memang terjadi pertentangan, maka selalu ada jalan untuk menyelesaikannya.
Begitu juga dengan sistem hukum haruslah tersusun dari sejumlah bagian-bagian yang dinamakan subsistem hukum yang secara bersama-sama mewujudkan kesatuan yang utuh. Sistem hukum bukan sekedar kumpulan peraturan hukum, tetapi setiap peraturan itu saling berkaitan satu dengan yang lainnya, serta tidak boleh terjadi konflik atau kontradiksi di antara subsistem yang di dalamnya.
Sistem hukum di Indonesia seperti dalam sistem hukum positif lainnya terdiri atas subsistem hukum pidana, subsistem hukum perdata, subsistem hukum tata Negara, subsistem hukum administrasi Negara, dan sebagainya, yang kesemuanya itu mempunyai perbedaan, namun tetap dalam satu kesatuan, yaitu sistem hukum Indonesia.
Sistem hukum menurut Lili Rasyidi dan I.B. Wyasa Putra, yaitu :
Suatu kesatuan sistem yang tersusun atas integritas sebagai komponen sistem hukum, yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri dan terikat dalam satu kesatuan hubungan yang saling terkait, bergantung, mempengaruhi, bergerak dalam satu kesatuan proses, yakni proses sistem hukum untuk mewujudkan tujuan hukum.
Kemudian Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa sistem hukum itu merupakan tatanan, suatu kesatuan yang utuh yang terdiri atas bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain. Adapun Marwan Mas menjelaskan bahwa sistem hukum adalah susunan sebagai satu kesatuan yang tersusun dari sejumlah bagian yang dinamakan subsistem hukum, yang secara bersama-sama mewujudkan kesatuan yang utuh.
Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan hukum dalam satu kesatuan, diperlukan kesatuan sinergi antara unsur-unsur atau komponen yang terkandung di dalam sistem hukum seperti masyarakat hukum, budaya hukum, filsafat hukum, pendidikan hukum (ilmu hukum), konsep hukum, pembentukan hukum, bentuk hukum, penerapan hukum dan evaluasi hukum.
Unsur-unsur atau komponen sistem hukum di atas dapat dijelaskan oleh Lili Rasyidi, dan I.B. Wyasa Putra, yaitu sebagai berikut.
Masyarakat hukum, merupakan himpunan kelompok kesatuan hukum, baik individu ataupum kelompok yang strukturnya ditentukan oleh tipenya masing-masing (sederhana, Negara, atau masyarakat internasional).
Budaya hukum, merupakan pemikiran manusia dalam usahanya mengatur kehidupannya; dikenal tiga budaya hukum masyarakat hukum, yaitu budaya hukum tertulis, tidak tertulis dan kombinatif.
Filsafat hukum, merupakan formulasi nilai tentang cara mengatur kehidupan manusia; dapat bersifat umum (universal), dapat bersifat khusus (milik suatu masyarakat hukum tertentu).
Ilmu pendidikan hukum, merupakan media komunikasi antara teori dan praktik hukum; juga merupakan media pengembangan teori-teori hukum, desain-desain, dan formula-formula hukum praktis (konsep hukum).
Konsep Hukum, merupakan formulasi kebijaksanaan hukum yang ditetapkan oleh suatu masyarakat hukum; berisi tentang budaya hukum yang dianutnya (tertulis, tidak tertulis, atau kombinatif), berisi formulasi nilai hukum (konsepsi filosofis) yang dianutnya; dan mengenai proses pembentukan, penetapan, pengembangan dan pembangunan hukum yang hendak dilaksanakannya.
Pembentukan hukum, merupakan bagian proses hukum yang meliputi lembaga –aparatur– dan sarana pembentukan hukum; menurut konsep hukum yang telah ditetapkan; termasuk prosedur-prosedur yang harus dilaluinya.
Bentuk hukum, merupakan hasil proses pembentukan hukum; dapat berupa peraturan perundang-undangan (jika pembentukannya melalui legislative, atau lembaga-lembaga Negara yang melaksanakan fungsi legislatif), dapat berupa keputusan hakim (jika hakim diberi kewenangan untuk itu).
Penerapan hukum, merupakan proses kelanjutan dari proses pembentukan hukum; meliputi lembaga, aparatur, saran, dan prosedur penerapan hukum.
Evaluasi hukum, merupakan pengujian kesesuaian antara hukum yang berbentuk dengan konsep yang telah ditetapkan sebelumnya, dan pengujian kesesuaian antara hasil penerapan hukum dengan undang-undang dan tujuan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya dalam konsep ataupun dalam peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya menurut Lawrence M. Friedmann, sistem hukum itu terdiri atas struktur, substansi, dan budaya hukum. Struktur merupakan hal yang menyangkut lembaga-lembaga (pranata-pranata), seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif, bagaimana lembaga itu menjalankan fungsinya.
Struktur berarti juga bagaimana lembaga legislatif menjalankan fungsinya, berapa anggota yang duduk sebagai anggota, apa yang boleh dann tidak boleh dilakukan oleh presiden, bagaimana aparat menegakkan hukum (polisi) menjalankan tugasnya dan lainnya. (structure also means how the legislature is organized, how many members sit on the federal trade commission, what the president can (legally) do or not do, what procedures the police department follows, and so on).
Adapun menurut Soleman B. Taneko pernah menjelaskan bahwa struktur hukum, mempunyai pola, bentuk dan gaya. Struktur adalah badan, rangka kerja, dan bentuk tetap. Pengadilan atau kepolisian, merupakan organisasi. Substansi adalah ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia, yaitu peraturan, norma-norma dan pola perilaku masyarakat dalam suatu sistem (substancy, by this mean the actual rules, norms, and behaviour patterns of people inside the system).
Dengan demikian, substansi hukum itu pada hakikatnya mencakup semua peraturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, seperti keputusan pengadilan yang dapat menjadi peraturan baru ataupun hukum yang baru, hukum materiil (hukum substantif), hukum formil (hukum ajektif), dan hukum adat.
Di samping struktur dan substansi hukum, sistem hukum yang ketiga adalah budaya hukum, yaitu sikap masyarakat, kepercayaan masyarakat, nilai-nilai yang dianut masyarakat dan ide-ide atau pengharapan mereka terhadap hukum dan sistem hukum. (the legal culture, by this we mean people’s attitudes toward law an the legal system-their beliefs, values, ideas, and expectation) Dalam hal ini kultur hukum merupakan gambaran dari sikap dan perilaku terhadap hukum, serta keseluruhan faktor-faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang sesuai dan dapat diterima oleh warga masyarakat dalam kerangka budaya masyarakat.
Jika diibaratkan sebuah mesin, struktur adalah mesinnya, substansi adalah produk yang dihasilkan oleh mesin, sedangkan budaya hukum merupakan orang yang menentukan hidup dan matinya mesin tersebut layak digunakan atau tidak. Perwujudan dari budaya hukum masyarakat adalah adanya kesadaran hukum, dengan indikator berupa adanya pengetahuan hukum, sikap hukum, dan perilaku hukum yang patuh terhadap hukum.
Mengukur hukum sebagai suatu sistem, menurut Fuller yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo harus diletakkan pada delapan nilai-nilai yang dinamakan principle of legality (prinsip legalitas) yang menjadi syarat keberadaan sistem hukum, memberikan pengkualifikasian bagi sistem sebagai satu kesatuan yang mengandung suatu moralitas tertentu. Kedelapan nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut.
Harus ada peraturan terlebih dahulu; hal ini berarti, tidak ada tempat bagi keputusan secara ad hoc, atau tindakan yang bersifat arbiter.
Peraturan itu harus diumumkan secara layak.
Peraturan itu tidak boleh berlaku surut.
Perumusan peraturan itu harus jelas dan terperinci; ia harus dapat dimengerti oleh rakyat.
Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin.
Di antara semua peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain.
Peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah.
Harus terdapat kesesuaian antara tindakan para pejabat hukum dan peraturan yang telah dibuat.
ISHAQ, SH., M.HUM.
2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Cet. 1. PT Sinar Grafika, Jakarta. Hlm. 181-184
Tags
Law