Sistem hukum di Dunia

Sistem hukum yang ada di dunia pada dasarnya ada dua kelompok besar, yaitu : 1. Sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law System), dan 2. Sistem hukum Anglo Saxon (Common Law System)





Sistem hukum yang ada di dunia pada dasarnya ada dua kelompok besar, yaitu :
Sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law System), dan
Sistem hukum Anglo Saxon (Common Law System)
Untuk lebih jelasnya, berikut disajikan penjabaran dari kedua sistem hukum tersebut.
A. SISTEM HUKUM EROPA KONTINENTAL
1. Pemahaman Tentang Sistem Hukum Eropa Kontinental
Sistem hukum Eropa Kontinental, yang terjemahan harfiahnya adalah sistem hukum sipil, berkembang atau dianut di Negara Eropa Daratan seperti Jerman, Belanda, Perancis, Italia, Amerika Latin, Jepang, Thailand dan Indonesia. Sistem hukum Eropa Kontinental ini mengutamakan hukum tertulis, yaitu peraturan-perundang-undangan sebagai dasar utama sistem hukumya, sehingga sistem hukum ini disebut juga sistem hukum kodifikasi (codified law). Kodifikasi hukumnya merupakan kumpulan dari pelbagai kaedah hukum yang ada sebelum masa Yustinianus yang disebut corpus juris civilis.
Dalam perkembangannya, prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada corpus juris civilis itu dijadikan dasar dalam perumusan dan kodifikasi hukum di Eropa daratan. Oleh karena itu, menurut Romli Atmasasmita, di Negara Eropa daratan suatu undang-undang dianggap sebagai mesin pembaruan, bukan hanya suatu pencatatan ulang, dan yang menjadi dasar prinsip utama sistem hukum ini adalah hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan berupa peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematis, lengkap, dan tuntas dalam kodifikasi.
Sistematis, karena dalam suatu sistem hukum di antara bagiannya yang berupa aturan hukum ini, tidak boleh ada pertentangan satu sama lain. Lengkap dan tuntas, karena demi kepastian hukum, di luar kodifikasi itu tidak diakui adanya aturan hukum.
Dengan demikian, hakim tidak bebas dalam menciptakan hukum baru, karena hakim hanya menerapkan dan menafsirkan peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya. Putusan hakim tidak mengikat umum, tetapi hanya mengikat para pihak yang berperkara saja.
Jadi, sumber hukum utama dalam sistem hukum kontinental adalah undang-undang. Pandangan ini menurut Sudarto bertumpu pada anggapan :

Hukum itu berasal dari kehendak mereka yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam Negara, ialah berasal dari kehendak dari pembentuk undang-undang. Penciptaan hukum di luar pembentukan undang-undang tidak diakui. Kalau dalam kenyataan ada hukum kebiasaan yang berlaku di samping undang-undang, maka berlakunya hukum kebiasaan ini didasarkan pada kehendak dari pembentuk undang-undang, yang dinyatakan secara tegas-tegas atau secara diam-diam.
Dalam sistem hukum Eropa Kontinental, hukum digolongkan menjadi dua bagian utama, yaitu hukum publik dan hukum privat. Hukum publik mencakup peraturan hukum yang mengatur kekuasaan dan wewenang penguasa/Negara serta hubungan antara masyarakat dan Negara. Yang masuk golongan hukum publik di antaranya adalah hukum tata Negara, hukum administrasi Negara, hukum pidana.
Adapun hukum privat mencakup peraturan hukum yang mengatur tentang hubungan antar individu dalam memenuhi kebutuhan hidup demi hidupnya. Yang termasuk dalam hukum privat, yaitu hukum sipil (hukum perdata) dan hukum dagang.
Keberlakuan sistem hukum Eropa Kontinental di Indonesia karena berdasarkan kepada asas konkordansi, dimana Indonesia pernah dijajah oleh Belanda, sehingga hukum Belanda secara otomatis dianut oleh Indonesia setelah merdeka. Namun karena dinamika kehidupan sosial politik masyarakat yang terus berkembang, sistem hukum Indonesia mengalami pula perkembangan dengan tidak sepenuhnya terikat pada sistem hukum Eropa Kontinental. Beberapa komponen sistem hukum Anglo Saxon (Common Law system) diadopsi ke dalam sistem hukum Indonesia, baik pada subsistem peraturan maupun pada subsistem peradilan.
2. Sistem Peradilan Eropa Kontinental
Dalam sistem peradilan Eropa Kontinental, hakim di dalam melaksanakan tugasnya terikat oleh undang-undang (hukum tertulis). Oleh karena itu, kepastian hukumnya terjamin dengan melalui bentuk dan sifat tertulisnya undang-undang. Hakim tidak terikat terhadap putusan hakim sebelumnya, maksudnya hakim-hakim lain boleh mengikuti putusan hakim sebelumnya pada perkara yang sama, tetapi bukan suatu keharusan yang mengikat. Hal ini di Indonesia dapat dilihat dalam Pasal 1917 KUH Perdata yang berbunyi :


Kekuatan sesuatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak tidaklah lebih luas daripada sekadar mengenai soal putusannya.Untuk dapat memajukan kekuatan itu, perlulah bahwa soal yang dituntut adalah sama; bahwa tuntutan didasarkan atas alas an yang sama; lagi pula dimajukan oleh dan terhadap pihak-pihak yang sama di dalam hubungannya yang sama pula.
Berdasarkan ketentuan di atas, jelaslah bahwa putusan pengadilan itu hanya mengikat para pihak dan tidak mengikat hakim lain. Kemudian sistem peradilan Eropa Kontinental tidak mengenai sistem juri. Tugas dan tanggungjawab hakim tersebut adalah memeriksa langsung materi perkaranya, menentukan bersalah tidaknya terdakwa atau pihak yang berperkara, dan selanjutnya menerapkan hukumnya. Hakim di sini bernalar denggan menggunakan metode penalaran deduktif, yaitu bernalar dari hal-hal yang bersifat umum, kemudian menarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus. Dengan demikian, hakim bernalar dari ketentuan yang umum untuk diterapkan pada kasus in-konkreto yang sedang diadili.
Contoh ketentuan umum dalam peraturan Indonesia adalah kata barang siapa, yang berarti siapa saja dan tentu saja berlaku secara umum bagi setiap subjek hukum. Dalam sistem peradilan Eropa Kontinental juga menggunakan metode sumsumtie dan metode silogisme.
Metode sumsumtie menurut Marwan Mas :

Suatu upaya memasukkan peristiwa ke dalam peraturannya yang banyak dilakukan dalam perkara pidana. Suatu peristiwa hukum dicarikan rumusan peraturan perundang-undangan yang dilanggar laksana mencocokkan sepatu dengan kaki pemakainya. Namun metode sumsumtie agak sulit diterapkan oleh hakim di Indonesia pada perkara perdata, akibat masih banyak peraturan hukum perdata yang tidak tertulis.
Adapun metode sillogisme, yaitu suatu cara perumusan dari yang umum (preposisi mayor) kepada suatu keadaan yang khusus (preposisi minor), sehingga sampai kepada suatu kesimpulan (conklusi).

Contoh :
Siapa saja karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun (preposisi mayor)
Si Ahmad karena salahnya menyebabkan matinya orang (preposisi minor)
Si Ahmad dihukum penjara selama-lamanya lima tahun (conklusi)

B. SISTEM HUKUM ANGLO SAXON (COMMON LAW SYSTEM)
1. Pemahaman Tentang Sistem Hukum Anglo Saxon
Adapun sistem hukum Anglo Saxon ini berkembang dari Inggris menyebar ke Negara-negara Amerika Serikat, Canada, Amerika Utara, dan Australia. Dalam sistem hukum ini sumber utamanya adalah putusan hakim/pengadilan atau yurisprudensi. Putusan hakim mewujudkan kepastian hukum, melalui putusan hakim itu prinsip dan kaedah hukum dibentuk dan mengikat umum.
Selain keputusan hakim, juga kebiasaan dan peraturan tertulis yang berbentuk undang-undang dan peraturan administrasi Negara diakui juga, sebab pada prinsipnya terbentuknya kebiasaan dan peraturan tertulis itu bersumber dari putusan pengadilan. Namun demikian, putusan hakim/pengadilan, kebiasaan, dan peraturan hukum tertulis itu tidak tersusun secara sistematis, lengkap dan tuntas dalam kodifikasi seperti yang terjadi dalam sistem hukum Eropa Kontinental.
Dalam sistem hukum Anglo Saxon ini, hakim mempunyai peranan besar dalam menciptakan kaedah hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat. Hakim juga mempunyai wewenang yang sangat luas untuk menafsirkan peraturan hukum yang berlaku dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang akan menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain untuk memutuskan perkara yang sejenis.
Oleh karena itu J.B. Daliyo menegaskan :
Hakim terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan yang sudah ada daru perkara-perkara sejenis (asas doctrine of precedent). Namun bila dalam putusan pengadilan terdahulu tidak ditemukan prinsip hukum yang dicari, hakim berdasarkan prinsip keadilan, kebenaran dan akal sehat dapat memutuskan perkara dengan menggunakan metode penafsiran hukum.
Melihat kenyataan bahwa banyak prinsip hukum yang timbul dan berkembang dari putusan hakim untuk suatu perkara atau kasus yang dihadapi, maka sistem hukum Anglo Saxon disebut juga case law. Sistem hukum ini dalam pembagian hukumnya juga terdiri atas hukum publik dan hukum privat.
Hukum publik menurut sistem hukum ini pengertiannya hampir sama dengan pengertian yang diberikan oleh sistem hukum Eropa Kontinental. Adapun hukum privat menurut sistem hukum Anglo Saxon lebih ditujukan kepada kaedah hukum tentang hak milik (law of property), hukum tentang orang (law of persons), hukum perjanjian (law of contract) dan hukum tentang perbuatan melawan hukum (law of torts) yang tersebar di dalam peraturan tertulis, putusan hakim, dan kebiasaan.
2. Sistem Peradilan Anglo Saxon
Pada sistem pengadilan Anglo Saxon (Common Law), sistem peradilannya menganut sistem juri di mana hakim bertindak sebagai pejabat yang memeriksa dan memutuskan hukumnya, sementara juri memeriksa peristiwa atau kasusnya kemudian menetapkan bersalah atau tidaknya terdakwa atau pihak-pihak yang berperkara.
Dalam sistem peradilan Common Law ini hakim diikat oleh asas precedent (asas stare decisis) atau the binding force of precedent, berarti putusan hakim terdahulu mengikat hakim-hakim lain untuk mengikutinya pada perkara yang sama. Hakim dalam melakukan penalaran dengan menggunakan metode induktif, yaitu cara bernalar dari hal-hal yang khusus, kemudian menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum. Dalam hal ini hakim mendasarkan putusannya pada kasus in-konkrito (aturan khusus) yang berlaku khusus kemudian dijadikan aturan umum yang akan berlaku sebagai precedent bagi hakim lainnya pada perkara yang sama.
Kemudian Curzon L.B. menjelaskan :

Esensi dari asas the binding of precedent bagi hakim, mengakibatkan hakim akan mampu lebih cepat mengambil putusan dan menerapkan suatu aturan hukumnya yang layak bagi putusannya. Asas ini merupakan kewajiban primer bagi hakim, yaitu kewajiban tradisional hakim untuk memberikan keadilan bagi pihak-pihak yang berperkara dengan mencarikan aturan hukum yang relevan melalui binding precedent.
Hakim dalam sistem peradilan Common Law dalam menilai fakta kasus dengan menggunakan metode analogi, yang membandingkan antara peristiwa yang sama, atau mempersamakan suatu peristiwa yang sejenis atau sama. Preseden ini berbentuk sebagai suatu lembaga, terdiri atas sebagian besar hukum yang tidak tertulis (unstatutery law = unwritten law = ius nonscriptum) melalui putusan hakim.
Menurut Rusli Effendi, dkk yang dikutip oleh Marwan Mas bahwa pernyataan hakim yang tertuang di dalam pemeriksaan dan putusannya, juga dibedakan atas dua jenis, yaitu sebagai berikut.
Ratio decidendi, yaitu faktor determinan di dalam suatu putusan hakim dalam arti yang sebenarnya, di mana bersifat menentukan sebagai inti dari suatu kasus hukum. Misalnya, tabrakan dimana pengemudinya memakai baju warna putih, bersepatu hitam, tidak dilengkapi SIM, mengendarai kendaraan dengan kecepatan 100 km/jam. Faktor esensial yang bersifat yuridis di sini hanyalah tidak memakai SIM, dan mengendarai dengan kecepatan 100 km/jam yang dilarang oleh hukum. Itulah disebut ratio decidendi.
Obiter dicta, yaitu sesuatu yang mempunyai nilai tersendiri di dalam keseluruhan proses pengadilan yang sedang berjalan, tetapi tidak langsung berhubungan dengan persoalan yang dihadapi oleh para pihak yang berperkara. Misalnya, si A sebagai penabrak, baru saja kembali dari rumah sakit menjenguk putranya yang sakit keras. Secara tidak langsung, kecelakaan lalu lintas di mana A menabrak B sebetulnya karena keruwetan pikirannya memikirkan anaknya yang sakit.
Apabila dianalisis contoh di atas, dapatlah dijelaskan bahwa kelalaian A hanyalah obiter dicta yang tidak berkaitan langsung dengan kasus, dan yang menjadi ratio decidendi adalah kemungkinan remnya tidak berfungsi, atau kecepatan kendaraan yang tinggi.
Kemudian sistem peradilan Common Law ini dalam menggunakan juri, yaitu dipilih dari komunitas warga masyarakat setempat, bukan ahli atau sarjana hukum. Juri ini sebelum bertugas diambil sumpahnya terlebih dahulu dengan harapan semoga berlaku objektif.
Juri ini pada umumnya dalam satu persidangan baik pada perkara pidana maupun pada perkara perdata berjumlah genap, yaitu 8 orang atau 12 orang.
Asas preseden dalam sistem peradilan dengan menggunakan juri tujuan esensialnya adalah untuk mewujudkan hakikat kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum sekaligus mengimplementasikan aspek fleksibilitas dan kecermatan. Keterikatan hakim lain pada putusan hakim sebelumnya dalam perkara yang sama, tentunya hanya pada bagian yang ratio decidendi, yaitu faktor determinan di dalam suatu putusan hakim yang sifatnya menentukan sebagai inti dari suatu kasus hukum.

PERBEDAAN DAN PERSAMAAN SISTEM HUKUM EROPA KONTINENTAL DAN ANGLO SAXON
Jika dianalisis uraian di atas, antara sistem hukum Eropa Kontinental dengan sistem hukum Anglo Saxon terdapat perbedaan yang mendasar, yaitu sebagai berikut.
Pada sistem hukum Eropa Kontinental dasarnya didominasi oleh hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) sebagai sumber hukumnya. Adapun pada sistem hukum Anglo Saxon pada umumnya didominasi oleh hukum tidak tertulis (asas stare decisis) melalui putusan hakim/yurisprudensi sebagai hukumnya.
Pada sistem hukum Eropa Kontinental terdapat pemisahan yang secara jelas dan tegas antara hukum publik dan hukum privat, sedangkan pada sistem hukum Anglo Saxon, tidak ada pemisahan secara jelas dan tegas antara hukum publik dengan hukum privat.
Di samping perbedaan kedua sistem hukum di atas, ada juga persamaannya, yaitu kedua-duanya tetap mengenal adanya pemisahan kekuasaan dari semua lembaga Negara, sebagaimana dimaksud dalam teori pemisahan kekuasaan. Kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan tersendiri terpisah dari kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Sedangkan dalam hal sistem peradilan, antara sistem peradilan Eropa Kontinental dan Anglo Saxon, dapat dilihat perbedaan yang prinsipiil, yaitu sebagai berikut.
Pada sistem peradilan Eropa Kontinental tidak menggunakan juri, sehingga tanggungjawab hakim adalah memeriksa kasus, menentukan kesalahan, dan menerapkan hukumnya serta menjatuhkan putusannya. Adapun pada sistem peradilan Anglo Saxon menggunakan juri yang memeriksa fakta kasusnya, kemudian menetapkan kesalahan, dan hakim hanya menerapkan hukum kemudian menjatuhkan putusan.
Pada sistem peradilan Eropa Kontinental di mana hakim tidak terikat atau tidak wajib mengikuti putusan hakim sebelumnya dalam perkara yang sama. Adapun pada sistem peradilan Anglo Saxon di mana hakim terikat pada putusan hakim sebelumnya dalam perkara yang sama dengan melalui asas the binding force of precedent.
Pada sistem peradilan Eropa Kontinental dalam perkara perdata saja yang melihat adanya dua pihak yang bertentangan, yaitu penggugat dan tergugat dan pada perkara pidana keberadaan terdakwa bukan sebagai pihak penentang. Adapun pada sistem peradilan Anglo Saxon menganut pula asas adversary system, yaitu memandang bahwa di dalam pemeriksaan peradilan selalu ada dua pihak yang saling bertentangan baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana.
ISHAQ, SH., M.HUM.

2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Cet. 1. PT Sinar Grafika, Jakarta. Hlm. 185-192

Fabian SSK

“The quality, not the longevity, of one’s life is what is important.” – Martin Luther King Jr.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
Your Ads Here

Your Ads Here

Your Ads Here

Formulir Kontak