Perempuan diberikan kesempatan dan kedudukan yang sama untuk melaksanakan peranannya dalam bidang eksekutif, yudikatif, legislatif, kepartaian, dan pemilihan umum menuju keadilan dan kesetaraan gender. Namun dalam praktiknya masih terdapat ketimpangan gender, termasuk dalam bidang kehakiman. Jumlah hakim agung perempuan di Indonesia sendiri tidak sampai 30% dari formasi yang ada. Saat ini hanya ada 4 (empat) orang dari 47 (empat puluh tujuh) orang hakim agung yaitu Sri Murwahyuni, Nurul Elmiah, Denasti dan Maria Anna. Keempat hakim tersebut hanya menduduki jabatan sebagai hakim anggota sementara pimpinan baik ketua, wakil ketua hingga ketua kamar dipimpin oleh laki-laki.
Adapun yang dimaksud dengan hakim adalah pengertian menurut Syar'a Hakim yaitu orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselsihan dalam bidang hukum perdata oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan.
Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.
Minimnya jumlah hakim perempuan ini juga disebabkan oleh berbagai hal seperti sistem dan nilai serta norma,budaya sekitar baik dari keluarga, teman seprofesi bahkan masyarakat pada umumnya. Terlebih lagi stigma ini didukung oleh interprestasi yang di dasarkan pada agama yang bertedensi pada bias gender. Hal ini terlihat dari beberapa pendapat para ulama tentang kebolehan perempuan menjadi hakim. Setidaknya terdapat tiga pendapat diantaranya pendapat mazhab Iman Syafii, Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa perempuan tidak dapat menjadi pemimpin dengan analogi bahwa perempuan tidak dapat menjadi iman shalat. Kelompok ulama mazhab selanjutnya yaitu Abu Hanifah berpendapat bahwa perempuan dapat menjadi hakim tapi hanya dalam perkara perdata tidak bisa dalam perkara pidana dan kelompok ulama mazhab selanjutnya yaitu ulama yang memperbolehkan perempuan menjadi hakim diantaranya Taqiy al-Dîn al-Nabhânî, Muhammad ‘Abduh, Nasr Hâmid Abû Zayd, Muhammad Hussayn ‘Abdullah dan M. Quraish Shihab. Keempatnya sepakat bahwa akar permasalahan larangan perempuan menjadi pemimpin politik atau hakim tampaknya lebih banyak disebabkan karena teks-teks wahyu ditafsirkan secara verbal dan normatif, tanpa melakukan pengkajian terhadap makna hukum dibalik teks-teks wahyu tersebut. Misalnya, kata “al-rijâl” dalam QS. al-Nisâ’ ayat 34 hendaknya bukan dimaknai “laki-laki”, melainkan “sifat kelaki-lakian”. Hal inilah yang kemudian menyebabkan pemaknaan terhadap teks-teks tersebut bersifat subyektif. Dalam konteks ini, perlu kiranya dikaji ulang persoalan tersebut dengan cara melakukan telaah kasus dalam khazanah keilmuan islam, berkenaan dengan prinsip ideal islam dalam memposisikan perempuan dalam sektor publik.
Rupanya hal ini tidak saja terjadi dalam agama islam tapi juga agama-agama lainnya diantaranya yaitu Agama Yahudi dan Kristen. Dalam Pandangan Yahudi martabat perempuan disamakan dengan pembantu, karena menurut pandangan kaum yahudi perempuan itu sumber masalah atau sumber laknat, mereka menyebutkan bahwa adam diusir oleh tuhan dari surga disebabkan oleh kaum perempuan (hawa). Sementara itu dalam pandangan Kristiani juga tidak juah berbeda dengan pandangan Yahudi. Bahkan tragisnya kaum perempuan menjadi komoditi jual beli (trafficking) dan aktivitas ini masih berlangsung hingga saat ini. Bahkan teori nature berpandangan bahwa sudah menjadi kodratnya perempuan untuk menjadi lemah, dan karena itu tergantung pada laki-laki dalam banyak hal untuk hidupnya. Akibat adanya ketimpangan tersebut munculah kritik, yang menginginkan persamaan kedudukan dan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan. Hal ini kemudian dikenal dengan aliran feminism.
Sejarah Aliran Feminisme
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Setelah Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik, dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki dihadapan hukum. Pada 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda.
Kata feminisme dicetuskan pertama kali diperkenalkan oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, “Perempuan sebagai Subyek” (The Subjection of Women) pada tahun (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama. Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan.Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya (terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki). Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan) universal (universal sisterhood). Pada tahun 1960 munculnya negara-negara baru, menjadi awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut ranah politik kenegaraan dengan diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen.Gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminisme Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida.Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin.
Macam-Macam Aliran Feminisme
Aliran feminism ini pun terbagi kedalam beberapa aliran diantaranya yaitu:
a. Aliran feminism liberal
Aliran ini berpendapat bahwa kebebasan dan persamaan didasarkan pada rasionalitas serta pemisahan antara bidang privat dengan bidang public. Setiap manusia mempunyai kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara rasional.
Aliran feminism liberal ini juga berpandangan bahwa Negara sebagai penguasa tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda. Namun di satu sisi aliran ini juga menyadari bahwa Negara di dominasi oleh kaum pria yang terefleksi menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”. Singkatnya Negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memang memiliki kendali atas Negara tersebut, sementara itu perempuan menurut aliran ini cenderung berada “di dalam” Negara hanya sebatas sebagai warga Negara bukan sebagai pembuat kebijakan sehingga terjadi ketidaksetaraan perempuan dalam bidang politik atau Negara.
Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki. Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas.
b. Feminisme Radikal
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 70-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal".
c. Feminisme Post Modern
Menurut anggapan mereka ide postmodern ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.
d. Feminisme Anarkis
Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.
e. Feminisme Markis
Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.
f. Feminisme Sosialis
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini hendak mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan.
Pada tahun 1948 merupakan awal bagi para aktivis perempuan dalam memuwujudkan kesetaraan dan keadilan gender di dalam forum perserikatan bangsa-bangsa. Kemudian pada tahun 1957 diadakan sidang umum PBB yang untuk pertama kalinya mengeluarkan resolusi tentang partisipasi perempuan dalam pembangunan dan kemudian pada tahun 1963 dikeluarkan resolusi yang secara khusus mengakui peranansn perempuan dalam pembangunan sosial, ekonomi, nasional. Berdasarkan hal inilah pemerintah Indonesia kemudian membentuk sebuah organisasi yang dikenal dengan sebutan Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (KNKWI).
Pemerintah Indonesia pada pertengahan 1980-an juga telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Covention on The Elemention of All Form of Discrimination Against Women/CEDAW) dan mengundangkannya menjadi Undang-undang No. 7 Tahun 1984. Dengan undang-undang ini, pemerintah pusat dan daerah berkewajiban membuat kebijakan publik yang menjamin terlaksananya hak-hak asasi manusia dan kebebasan pokok atas dasar persamaan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Ratifikasi dan pengundangan konvensi tersebut diharapkan menjadi sebuah intervensi yang mampu mengubah tatanan politik nasional karena mempertimbangkan keterlibatan perempuan, pihak yang selama ini tidak mendapat kesempatan untuk terlibat dalam menjalankan institusi politik. Perubahan yang diharapkan bukan semata pada jumlah perempuan yang terlibat dalam lingkar pengambil keputusan, akan tetapi juga pada kepentingan perempuan yang terwakili atau yang direpresentasikan dalam penyelenggaraan politik. Selain itu Indonesia juga mempunyai undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Bahkan jauh sebelum adanya undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia dan meratifikasi CEDAW, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengatur tentang persamaan hak antara perempuan dan laki-laki.
Di samping itu, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang telah ikut meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 dan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR), yakni dua kovenan pokok tentang hak-hak sipil politik dan sosial, ekonomi, dan budaya. Dalam kedua kovenan tersebut diakui kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam mengakses hak-hak yang diakui di dalamnya. Hak-hak publik itu mencakup hak politik; hak untuk memilih dan dipilih, hak-hak untuk diangkat dalam jabatan terpenting, pengakuan dan perlakuan sama dalam hukum dan pelayanan umum lainnya, berhak mendapat rasa aman dan perlindungan terhadap kekerasan suku, agama, suku, atau ras.
Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2016 sendiri memberikan peluang yang sama kepada perempuan untuk menjadi hakim agung baik hakim agung karier maupun non karier. hal ini tercermin dalam persyaratan hakim agung yang diatur dalam Pasal 6 Ayat 1 Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2016, menyatakan bahwa syarat hakim agung karier yaitu:
1. warga negara Indonesia;
2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. berusia paling sedikit 45 (empat puluh lima) tahun;
4. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban
5. berijazah magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
6. berpengalaman paling sedikit 20 (dua puluh) tahun menjadi hakim, termasuk paling singkat 3 (tiga) tahun menjadi hakim tinggi; dan
7. tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat melakukan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim.Sedangkan Pasal 6 Ayat 2 Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2016, menyatakan bahwa syarat hakim agung non karier yaitu:
1. warga negara Indonesia;
2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. berusia paling sedikit 45 (empat puluh lima) tahun
4. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban;
5. berijazah doktor dan magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum
6. berpengalaman dalam Profesi Hukum dan/atau akademisi hukum paling sedikit 20 (dua puluh) tahun;
7. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; dan
8. tidak pernah dijatuhi sanksi pelanggaran disiplin.
Meskipun demikian ternyata pada proses perekrutan calon hakim agung ini tidak terlepas dari proses politik. Sebab dalam meskipun sudah dinyatakan lolos oleh Komisi Yudisial, Komisi Yudisial masih harus mengajukan kembali nama-nama calon hakim agung tersebut kepada DPR, apabila DPR menyetujui nama-nama calon hakim agung tersebut maka DPR akan mengusulkannya ke Presiden. Namun apabila DPR menolak memberikan persetujuannya maka Komisi Yudisial harus melakukan perekrutan kembali. Detik.com memberitakan bahwa Berdasarkan pendapat dan pandangan dari 10 fraksi yang hadir dalam rapat pleno tersebut, memutuskan tidak memberikan persetujuan terhadap 4 calon hakim agung yang diajukan oleh Komisi Yudisial (KY). Hal ini mengakibatkan maka KY harus melakukan perekrutan ulang.
Di sinilah terdapat permasalahan, melihat keterwakilan hakim agung perempuan dalam bidang kehakiman dalam perspektif teori hukum feminisme penulis beranggapan bahwa faktor keterwakilan politik ini menjadi salah satu faktor yang juga menyebabkan minimnya jumlah hakim agung perempuan dalam bidang kehakiman. Sebab sebagai besar anggota parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat) masih di dominasi oleh laki-laki bahkan Dalam pemilihan umum DPR tahun ini, sebanyak 118 kursi atau 21 persen dari total 575 kursi di DPR diisi oleh perempuan. Jumlah tersebut meningkat 22 persen dari pemilu sebelumnya yang hanya mengisi sebanyak 97 kursi. Meskipun mengalami peningkatan tetapi masih belum mencapai kuota keterwakilan 30% sebagaimana yang disyaratkan oleh undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah , dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang Undang Nomor 2 tahun 2008 Tentang Partai Politik.. Tentu saja hal ini berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan yang diambil termasuk dalam penentuan hakim agung. (drsm)
Baca juga :
Hak Asasi Manusia Dalam Berekspresi
Pancasila Sebagai Salam Nasional?
Adapun yang dimaksud dengan hakim adalah pengertian menurut Syar'a Hakim yaitu orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselsihan dalam bidang hukum perdata oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan.
Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.
Minimnya jumlah hakim perempuan ini juga disebabkan oleh berbagai hal seperti sistem dan nilai serta norma,budaya sekitar baik dari keluarga, teman seprofesi bahkan masyarakat pada umumnya. Terlebih lagi stigma ini didukung oleh interprestasi yang di dasarkan pada agama yang bertedensi pada bias gender. Hal ini terlihat dari beberapa pendapat para ulama tentang kebolehan perempuan menjadi hakim. Setidaknya terdapat tiga pendapat diantaranya pendapat mazhab Iman Syafii, Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa perempuan tidak dapat menjadi pemimpin dengan analogi bahwa perempuan tidak dapat menjadi iman shalat. Kelompok ulama mazhab selanjutnya yaitu Abu Hanifah berpendapat bahwa perempuan dapat menjadi hakim tapi hanya dalam perkara perdata tidak bisa dalam perkara pidana dan kelompok ulama mazhab selanjutnya yaitu ulama yang memperbolehkan perempuan menjadi hakim diantaranya Taqiy al-Dîn al-Nabhânî, Muhammad ‘Abduh, Nasr Hâmid Abû Zayd, Muhammad Hussayn ‘Abdullah dan M. Quraish Shihab. Keempatnya sepakat bahwa akar permasalahan larangan perempuan menjadi pemimpin politik atau hakim tampaknya lebih banyak disebabkan karena teks-teks wahyu ditafsirkan secara verbal dan normatif, tanpa melakukan pengkajian terhadap makna hukum dibalik teks-teks wahyu tersebut. Misalnya, kata “al-rijâl” dalam QS. al-Nisâ’ ayat 34 hendaknya bukan dimaknai “laki-laki”, melainkan “sifat kelaki-lakian”. Hal inilah yang kemudian menyebabkan pemaknaan terhadap teks-teks tersebut bersifat subyektif. Dalam konteks ini, perlu kiranya dikaji ulang persoalan tersebut dengan cara melakukan telaah kasus dalam khazanah keilmuan islam, berkenaan dengan prinsip ideal islam dalam memposisikan perempuan dalam sektor publik.
Rupanya hal ini tidak saja terjadi dalam agama islam tapi juga agama-agama lainnya diantaranya yaitu Agama Yahudi dan Kristen. Dalam Pandangan Yahudi martabat perempuan disamakan dengan pembantu, karena menurut pandangan kaum yahudi perempuan itu sumber masalah atau sumber laknat, mereka menyebutkan bahwa adam diusir oleh tuhan dari surga disebabkan oleh kaum perempuan (hawa). Sementara itu dalam pandangan Kristiani juga tidak juah berbeda dengan pandangan Yahudi. Bahkan tragisnya kaum perempuan menjadi komoditi jual beli (trafficking) dan aktivitas ini masih berlangsung hingga saat ini. Bahkan teori nature berpandangan bahwa sudah menjadi kodratnya perempuan untuk menjadi lemah, dan karena itu tergantung pada laki-laki dalam banyak hal untuk hidupnya. Akibat adanya ketimpangan tersebut munculah kritik, yang menginginkan persamaan kedudukan dan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan. Hal ini kemudian dikenal dengan aliran feminism.
Sejarah Aliran Feminisme
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Setelah Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik, dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki dihadapan hukum. Pada 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda.
Kata feminisme dicetuskan pertama kali diperkenalkan oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, “Perempuan sebagai Subyek” (The Subjection of Women) pada tahun (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama. Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan.Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya (terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki). Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan) universal (universal sisterhood). Pada tahun 1960 munculnya negara-negara baru, menjadi awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut ranah politik kenegaraan dengan diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen.Gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminisme Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida.Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin.
Macam-Macam Aliran Feminisme
Aliran feminism ini pun terbagi kedalam beberapa aliran diantaranya yaitu:
a. Aliran feminism liberal
Aliran ini berpendapat bahwa kebebasan dan persamaan didasarkan pada rasionalitas serta pemisahan antara bidang privat dengan bidang public. Setiap manusia mempunyai kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara rasional.
Aliran feminism liberal ini juga berpandangan bahwa Negara sebagai penguasa tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda. Namun di satu sisi aliran ini juga menyadari bahwa Negara di dominasi oleh kaum pria yang terefleksi menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”. Singkatnya Negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memang memiliki kendali atas Negara tersebut, sementara itu perempuan menurut aliran ini cenderung berada “di dalam” Negara hanya sebatas sebagai warga Negara bukan sebagai pembuat kebijakan sehingga terjadi ketidaksetaraan perempuan dalam bidang politik atau Negara.
Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki. Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas.
b. Feminisme Radikal
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 70-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal".
c. Feminisme Post Modern
Menurut anggapan mereka ide postmodern ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.
d. Feminisme Anarkis
Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.
e. Feminisme Markis
Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.
f. Feminisme Sosialis
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini hendak mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan.
Pada tahun 1948 merupakan awal bagi para aktivis perempuan dalam memuwujudkan kesetaraan dan keadilan gender di dalam forum perserikatan bangsa-bangsa. Kemudian pada tahun 1957 diadakan sidang umum PBB yang untuk pertama kalinya mengeluarkan resolusi tentang partisipasi perempuan dalam pembangunan dan kemudian pada tahun 1963 dikeluarkan resolusi yang secara khusus mengakui peranansn perempuan dalam pembangunan sosial, ekonomi, nasional. Berdasarkan hal inilah pemerintah Indonesia kemudian membentuk sebuah organisasi yang dikenal dengan sebutan Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (KNKWI).
Pemerintah Indonesia pada pertengahan 1980-an juga telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Covention on The Elemention of All Form of Discrimination Against Women/CEDAW) dan mengundangkannya menjadi Undang-undang No. 7 Tahun 1984. Dengan undang-undang ini, pemerintah pusat dan daerah berkewajiban membuat kebijakan publik yang menjamin terlaksananya hak-hak asasi manusia dan kebebasan pokok atas dasar persamaan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Ratifikasi dan pengundangan konvensi tersebut diharapkan menjadi sebuah intervensi yang mampu mengubah tatanan politik nasional karena mempertimbangkan keterlibatan perempuan, pihak yang selama ini tidak mendapat kesempatan untuk terlibat dalam menjalankan institusi politik. Perubahan yang diharapkan bukan semata pada jumlah perempuan yang terlibat dalam lingkar pengambil keputusan, akan tetapi juga pada kepentingan perempuan yang terwakili atau yang direpresentasikan dalam penyelenggaraan politik. Selain itu Indonesia juga mempunyai undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Bahkan jauh sebelum adanya undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia dan meratifikasi CEDAW, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengatur tentang persamaan hak antara perempuan dan laki-laki.
Di samping itu, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang telah ikut meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 dan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR), yakni dua kovenan pokok tentang hak-hak sipil politik dan sosial, ekonomi, dan budaya. Dalam kedua kovenan tersebut diakui kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam mengakses hak-hak yang diakui di dalamnya. Hak-hak publik itu mencakup hak politik; hak untuk memilih dan dipilih, hak-hak untuk diangkat dalam jabatan terpenting, pengakuan dan perlakuan sama dalam hukum dan pelayanan umum lainnya, berhak mendapat rasa aman dan perlindungan terhadap kekerasan suku, agama, suku, atau ras.
Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2016 sendiri memberikan peluang yang sama kepada perempuan untuk menjadi hakim agung baik hakim agung karier maupun non karier. hal ini tercermin dalam persyaratan hakim agung yang diatur dalam Pasal 6 Ayat 1 Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2016, menyatakan bahwa syarat hakim agung karier yaitu:
1. warga negara Indonesia;
2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. berusia paling sedikit 45 (empat puluh lima) tahun;
4. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban
5. berijazah magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
6. berpengalaman paling sedikit 20 (dua puluh) tahun menjadi hakim, termasuk paling singkat 3 (tiga) tahun menjadi hakim tinggi; dan
7. tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat melakukan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim.Sedangkan Pasal 6 Ayat 2 Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2016, menyatakan bahwa syarat hakim agung non karier yaitu:
1. warga negara Indonesia;
2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. berusia paling sedikit 45 (empat puluh lima) tahun
4. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban;
5. berijazah doktor dan magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum
6. berpengalaman dalam Profesi Hukum dan/atau akademisi hukum paling sedikit 20 (dua puluh) tahun;
7. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; dan
8. tidak pernah dijatuhi sanksi pelanggaran disiplin.
Meskipun demikian ternyata pada proses perekrutan calon hakim agung ini tidak terlepas dari proses politik. Sebab dalam meskipun sudah dinyatakan lolos oleh Komisi Yudisial, Komisi Yudisial masih harus mengajukan kembali nama-nama calon hakim agung tersebut kepada DPR, apabila DPR menyetujui nama-nama calon hakim agung tersebut maka DPR akan mengusulkannya ke Presiden. Namun apabila DPR menolak memberikan persetujuannya maka Komisi Yudisial harus melakukan perekrutan kembali. Detik.com memberitakan bahwa Berdasarkan pendapat dan pandangan dari 10 fraksi yang hadir dalam rapat pleno tersebut, memutuskan tidak memberikan persetujuan terhadap 4 calon hakim agung yang diajukan oleh Komisi Yudisial (KY). Hal ini mengakibatkan maka KY harus melakukan perekrutan ulang.
Di sinilah terdapat permasalahan, melihat keterwakilan hakim agung perempuan dalam bidang kehakiman dalam perspektif teori hukum feminisme penulis beranggapan bahwa faktor keterwakilan politik ini menjadi salah satu faktor yang juga menyebabkan minimnya jumlah hakim agung perempuan dalam bidang kehakiman. Sebab sebagai besar anggota parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat) masih di dominasi oleh laki-laki bahkan Dalam pemilihan umum DPR tahun ini, sebanyak 118 kursi atau 21 persen dari total 575 kursi di DPR diisi oleh perempuan. Jumlah tersebut meningkat 22 persen dari pemilu sebelumnya yang hanya mengisi sebanyak 97 kursi. Meskipun mengalami peningkatan tetapi masih belum mencapai kuota keterwakilan 30% sebagaimana yang disyaratkan oleh undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah , dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang Undang Nomor 2 tahun 2008 Tentang Partai Politik.. Tentu saja hal ini berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan yang diambil termasuk dalam penentuan hakim agung. (drsm)
Baca juga :
Hak Asasi Manusia Dalam Berekspresi
Pancasila Sebagai Salam Nasional?
Tags
Opini