Teori Penyebab Kejahatan Dari Perspektif Sosiologis



Ilustrasi: Theispot.com




Meningkatnya angka kejahatan dari waktu ke waktu menimbulkan pertanyaan besar mengenai penyebab dan cara menanggulangi kejahatan tersebut. Tidak hanya angka kejahatan yang terus meningkat, jenis atau bentuk kejahatan yang terjadi pun semakin beragama. Fenomena ini harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Baik itu perhatian dari pemerintah, perhatian dari para penegak hukum, perhatian dari para akademisi, dan terlebih lagi perhatain dari para mahasiswa fakultas hukum yang saat ini masih memperdalam ilmu dalam rangka enjadi generasi penerus estafet penegakan hukum di Negara ini.


Semakin kompleksnya kebutuhan dalam masyarakat menimbulkan berbagai cara yang ditempuh oleh masyarakat yang bersangkutan dalam rangka memenuhi kebutuhannya tersebut. Bagi masyrakat yang tidak bisa mengontrol dirinya tentu akan melakukan segala cara untuk memenuhi kebetuhan tersebut, baik itu cara yang dibolehkan maupun cara-cara yang dilarang oleh hukum. Kondisi yang sedemikian rupa memerlukan kajian yang mendalam dalam rangka memecahkan berbagai masalah masyrakat tersebut. Dalam hal ini kita tidak bisa mengkaji berbagai permasalahan masyarakat yang terjadi dari satu sisi ilmu saja, dari sisi sosiologis saja misalnya. Akan tetapi perkembangan ilmu pengetahuan yang terus berkembang pesat dan melahirkan berbagai macam ilmu baru harus bisa digunakan dalam rangka memecahkan berbagai masalah tersebut. Salah satu ilmu yang harus ikut serta dalam rangka pemecahan masalah masyarakat khususnya dalam tindak kejahatan adalah kriminologi.




Kriminologi tidak hanya hanya fokus pada tatanan peraktik dari pada penanggulan kejahatan akan tetapi kriminologi juga turut serta dalam merancang berbagai regulasi dalam rangka meminimalisir angka kejahatan dalam masyarakat. Memahami kriminologi tidak bisa serta merta langsung pada ranah praktisnya, akan tetapi memahami kriminologi harus dari akarnya. Akar yang kami maksud di sini adalah berbagai teori dan pendekatan yang digunakan dalam rangka memahami permasalahan kejahatan dan cara menanggulanginya. Sehingga ke depannya nanti kriminologi menjadi suatu ilmu yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam rangkai mengurai berbagai permasalahan dan mencarikan solusi atas permasalahan tersebut.


KAITAN ANTARA KRIMINOLOGI DAN SOSIOLOGI


Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa kriminologi merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari sebab-sebab kejahatan, pelaku kejahatan dan cara menanggulangi kejahatan. Sementara untuk definisi dari kejahatan itu sendiri, menurut W.A. Bonger kejahatan merupakan perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapatkan reaksi dari negara berupa pemberaian derita dan kemudian, sebagai reaksi-reaksi terhadap rumusan hukum mengenai kejahatan. Jika kita berbicara kejahatan pasti ada pihak atau ada orang yang berperan sebagai pelaku kejahatan itu sendiri. Pelaku kejahatan tersebut bisa ditinjau dari beberapa aspek seperti dari aspek yuridis, sosial, dan aspek ekonomi. Ditinjau dari aspek yuridis, pelaku kejahatan adalah jika seseorang melanggar peraturan atau undang-undang pidana dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan serta dijatuhi hukuman. Ditinjau dari aspek sosial pelaku kejahatan ialah jika seseorang mengalami kegagalan dalam menyesuaikan diri atau berbuat menyimpang dengan sadar atau tidak sadar dari norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat sehingga perbuatannya tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat. Ditinjau dari aspek ekonomi pelaku kejahatan ialah jika seseorang (atau lebih) dianggap merugikan orang lain dengan membebankan kepentingan ekonominya kepada masyarakat sekelilingnya, sehingga ia dianggap sebagai penghambat atas kebahagian orang lain.


Mengenai sosiologi, seperti yang sudah kita pelajari bahwa pada intinya sosilogi merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang masyarakat. Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan bersama, dan memiliki budaya. Sosiologi hendak mempelajari masyarakat, perilaku masyarakat. Dan perilaku sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Sebagai sebuah ilmu, sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat dikontrol secara kritis oleh orang lain atau umum. Kelompok yang dimksud dalam sosiologi mencakup keluarga, suku bangsa, negara, dan berbagai oraganisasi politik, ekonomi, dan sosial.


Oleh karena sosiologi yang mempelajari masyarakat yang memiliki hubungan satu sama lain dan terdapat berbagai macam kepentingan yang ada di dalamnya, kondisi yang sedemikian rupa menimbulkan kerentanan akan terjadinya konflik kepentingan antar individu maupun antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Bukan suatu hal yang tidak mungkin dalam suatu masyarakat terjadi berbagai kejahatan dalam rangka memenuhi kubutahan masing-masing.


Berbicara mengenai kejehatan, kita tidak bisa memfokuskan pandangan hanya pada kejahatan itu saja, akan tetapi pandangan kita harus lebih luas lagi. Maksudnya adalah suatu tindak kejahatan tidak terlepas dari faktor penyebab dan di mana kejahatan tersebut dilakukan. Dalam hal ini sosiologi berperan dalam rangka melihat dan mempelajari kondisi sosial dalam lingkungan masyarakat yang berperan dalam rangka terjadinya kejahatan tersebut.


Ada berbagai pendekatan dalam memahami penyebab terjadinya kejahatan, akan tetapi dalam pembahasan ini hanya fokus pada pendektan sosiologis mengingat perilaku kejahatan tidak hanya menimbulkan efek bagi pelaku maupun korban akan tetapi bisa menimbulkan keguncangan dalam masyarakat itu sendiri. Ada beberapa teori yang berkaitan dengan pendekatan sosiologis dalam rangka memahami penyebab dari suatu kejahatan. Teori-teori tersebut akan diuraikan pada pembahasan berikutnya.


TEORI PENYEBAB KEJAHATAN DARI PERSPEKTIF SOSIOLOGIS


Teori-teori sosiologis mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan di dalam lingkungan sosial. Teori-teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori umum, yaitu :


1. Anomie (ketiadaan norma) atau Strain (ketegangan)
2. Cultural Deviance (penyimpangan budaya)
3. Social Control (kontrol sosial)


Teori Anomie dan Penyimpangan Budaya, memusatkan perhatian pada kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal. Teori ini berasumsi bahwa kelas sosial dan tingkah laku kriminal saling berhubungan. Pada penganut teori anomie beranggapan bahwa seluruh anggota masyarakat mengikuti seperangkat nilai-nilai budaya, yaitu nilai-nilai budaya kelas menengah, yakni adanya anggapan bahwa nilai budaya terpenting adalah keberhasilan dalam ekonomi. Karena orang-orang kelas bawah tidak mempunyai sarana-sarana yang sah (legitimate means) untuk mencapai tujuan tersebut, seperti gaji tinggi, bidang usaha yang maju, dll, mereka menjadi frusturasi dan beralih menggunakan sarana-sarana yang tidak sah (illegitimate means). Sangat berbeda dengan itu, teori penyimpangan budaya mengklaim bahwa orang-orang dari kelas bawah memiliki seperangkat nilai-nilai yang berbeda, yang cenderung konflik dengan nilai-nilai kelas menegah. Sebagai konsekuensinya, manakala orang-orang kelas bawah mengikuti sistem nilai mereka sendiri, mereka mungkin telah melanggar norma-norma konvensional dengan cara mencuri, merampok, dan sebagainnya.


Faktor-faktor yang berperan dalam timbulnya kejahatan, Walter Lunden berpendapat bahwa gejala yang dihadapi negara-negara yang sedang berkembang adalah sebagai berikut :


a. Gelombang urabanisasi remaja dari desa ke kota-kota jumlahnya cukup besar dan sukar dicegah.


b. Terjadi konfik antara norma adat pedesaan tradisional dengan norma-norma baru yng tumbuh dalam proses dan pergeseran sosial yang cepat, terutama di kota-kota besar.


c. Memudarnya pola-pola keperibadian individu yang terkait kuat pada pola kontrol sosial tradisionalnya, sehingga anggota masyarakat terutama remajanya menghadapi “samarpola” (ketidak taatan pada pola) untuk menentukan perilakunya.


1. Teori-teori Anomie


Berikut beberapa ahli yang turut serta dalam memberikan pandangan atau yang menganut teori anomie :


1) Emile Durkheim


Ahli sosiologi Perancis Emile Durkheim (1858 – 1917), menekankan pada „normlessness, lessens social control” yang berarti mengendornya pengawasan dan pengendalian sosial yang berpengaruh terhadap terjadinya kemerosotan moral, yang menyebabkan individu sukar menyesuaikan diri dalam perubahan norma, bahkan kerapkali terjadi konflik norma dalam pergaulan. Dikatakan oleh Durkheim, “tren sosial dalam masyarakat industri perkotaan modern mengakibatkan perubahan norma, kebingungan dan berkurangnya kontrol sosial atas individu”. Individualisme meningkat dan timbul berbagai gaya hidup baru, yang besar kemungkinan menciptakan kebebasan yang lebih luas di samping meningkatkan kemungkinan perilaku yang menyimpang, seperti kebebasan seks dikalangan anak muda.


Satu cara dalam mempelajari masyarakat adalah dengan melihat pada bagian-bagian komponennya dalam usaha mengetahui bagaimana masing-masing berhubungan satu sama lain. Dengan kata lain, kita melihat kepada struktur suatu masyarakat guna melihat bagaimana ia berfungsi. Jika masyarakat itu stabil, bagian-bagiannya beroperasi secara lancar, susunan-susunan sosial berfungsi dengan baik. Masyarakat seperti itu ditandai oleh kepaduan, kerjasama, dan kesepakatan. Namun, jika bagian-bagian komponennya tertata dalam keadaan yang membahayakan keteraturan/ketertiban sosial, susunan masyarakat itu menjadi dysfunctional (tidak berfungsi).


Menurut Durkheim, penjelasan tentang perbuatan manusia tidak terletak pada diri si individu, tetapi terletak pada kelompok dan organisasi sosial. Dalam konteks inilah Durkheim memperkenalkan istilah anomie sebagai hancurnya keteraturan sosial sebagai akibat hilangnya patokan-patokan dan nilai-nilai. Anomie dalam teori Durkheim juga dipandang sebagai kondisi yang mendorong sifat individualistis (memenangkan diri sendiri/egois) yang cenderung melepaskan pengendalian sosial. Keadaan ini akan diikuti dengan perilaku menyimpang dalam pergaulan masyarakat. Durkheim meyakini bahwa jika sebuah masyarakat sederhana berkembang menuju ke suatu masyarakat yang modern dan kota, maka kedekatan (intimacy) yang dibutuhkan untuk melanjutkan seperangkat norma-norma umum (a common set of rules) akan merosot. Seperangkat aturan-aturan umum, tindakan-tindakan dan harapan-harapan orang di satu sektor mungkin bertentangan dengan tindakan dan harapan orang lain, sistem tersebut secara bertahap akan runtuh, dan masyarakat itu berada dalam kondisi anomi.


Ilustrasi terbaik dari konsep Durkheim adalah dalam salah satu diskusi tentang bunuh diri (suicide) yang terjadi di Perancis, dan bukan tentang kejahatan. Ketika Durkheim menganalisis data statistik ia mendapati bahwa angka bunuh diri meningkat selama perubahan ekonomi yang tiba-tiba (sudden economic change), baik perubahan itu depresi hebat ataupun kemakmuran yang tidak terduga. Dalam periode perubahan yang cepat itu orang tiba-tiba terhempas ke dalam satu cara/jalan hidup yang tidak dikenal (unfamiliar). Aturan-aturan (rules) yang pernah membimbing tingkah laku tidak lagi dipegang. Riset Durkheim tentang „suicide‟ dilandasi pada asumsi bahwa rata-rata bunuh diri yang terjadi di masyarakat yang merupakan tindakan akhir atau puncak dari suatu anomie, bervariasi atas dua keadaan sosial, yaitu sosial integration dan sosial deregulation.


Selanjutnya, ia mengemukakan bahwa keadaan terendah atau tertinggi dari tingkat integrasi dan regulasi akan mengakibatkan tingginya angka rata-rata bunuh diri. Durkheim mengemukakan bahwa bunuh diri atau suicide berasal dari kondisi sosial yang menekan (strain/stres), yaitu :


a. Deregulasi kebutuhan atau anomi.
b. Regulasi yang keterlaluan atau fatalism.
c. Kurangnya integrasi struktural atau egoism.
d. Proses sosialisasi dari seorang individu kepada suatu nilai budaya “altruistic” yang mendorong bersangkutan untuk melakukan bunuh diri.


Durkheim mempercayai bahwa hasrat-hasrat manusia adalah tidak terbatas. Karena alam tidak mengatur batas-batas biologis yang ketat untuk kemampuan manusia sebagaimana ia mengatur makhluk lain seperti binatang-binatang, menurut Durkheim, kita telah mengembangkan aturan-aturan sosial yang meletakkan suatu takaran yang realistis di atas aspirasi-aspirasi kita. Aturan-aturan ini menyatu dengan kesadaran individu dan membuatnya menjadi merasa terpenuhi. Akan tetapi, dengan satu ledakan kemakmuran yang tiba-tiba, harapan-harapan orang menjadi berubah. Manakala aturan-aturan lama tidak lagi menentukan bagaimana ganjaran/penghargaan didistribusikan kepada anggota-anggota masyarakat itu, maka di sana sudah tidak ada lagi pengekang/pengendali atas apa yang orang inginkan.


2) Robert Merton


Robert Merton dalam „sosial theory and sosial structure‟ pada tahun 1957 yang berkaitan dengan teori anomi Durkheim mengemukakan bahwa anomie adalah satu kondisi manakala tujuan tidak tercapai oleh keinginan dalam interaksi sosial. Dengan kata lain anomie is a gap between goals and means creates deviance. Tetapi konsep Merton tentang anomie agak berbeda dengan konsep Durkheim. Masalah sesungguhnya tidak diciptakan oleh sudden social change tetapi oleh social structure yang menawarkan tujuan-tujuan yang sama untuk mencapainya.


Teori anomi dari Merton menekankan pentingnya dua unsur penting di setiap masyarakat, yaitu cultural aspiration atau culture goals dan institusionalised means atau accepted ways. Dan disparitas antara tujuan dan sarana inilah yang memberikan tekanan (strain). Berdasarkan perspektif tersebut struktur sosial merupakan akar dari masalah kejahatan (a structural explanation). Teori ini berasumsi bahwa orang itu taat hukum dan semua orang dalam masyarakat memiliki tujuan yang sama (meraih kemakmuran), akan tetapi dalam tekanan besar mereka akan melakukan kejahatan. Keinginan untuk meningkat secara sosial (sosial mobility) membawa pada penyimpangan, karena struktur sosial yang membatasi akses menuju tujuan melalui legitimate means (pendidikan tinggi, bekerja keras, koneksi keluarga). Anggota dari kelas bawah khususnya terbebani sebab mereka memulai jauh dibelakang dan mereka benar-benar haruslah orang yang penuh talented. Situasi seperti inilah yang dapat menimbulkan konsekuensi sosial berupa penyimpangan.


Dalam masyarakat menurut pandangan Merton telah melembaga suatu cita-cita (goals) untuk mengejar sukses semaksimal mungkin yang umumnya diukur dari harta kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. Untuk mencapai sukses yang dimaksud, masyarakat sudah menetapkan cara-cara (means) tertentu yang diakui dan dibenarkan yang harus ditempuh seseorang. Meskipun demikian pada kenyataannya tidak semua orang mencapai cita-cita dimaksud melalui legitimated means (mematuhi hukum). Oleh karena itu, terdapat individu yang berusaha mencapai cita-cita dimaksud melalui cara yang melanggar undang-undang (illegitimated means). Pada umumnya, mereka yang melakukan illegitimated means tersebut berasal dari masyarakat kelas bawah dan golongan minoritas. Ketidaksamaan kondisi sosial yang ada di masyarakat adalah disebabkan proses terbentuknya masyarakat itu sendiri, yang menurut pandangan Merton, struktur masyarakat demikian adalah anomistis. Individu dalam keadaan masyarakat anomistis selalu dihadapkan pada adanya tekanan (psikologis) atau strain (ketegangan) karena ketidakmampuan untuk mengadaptasi aspirasi sebaik-baiknya walaupun dalam kesempatan yang sangat terbatas.


Pada saat Merton pertama menulis artikelnya, “sosial structure and anomie”, teori mengenai penyimpangan tingkah laku dimaksud abnormal. Oleh karena itu, penjelasannya terletak pada individu pelakunya. Berbeda dengan pendapat teori-teori tersebut, Merton justru mencoba mengemukakan bagaimana struktur masyarakat mengakibatkan tekanan yang begitu kuat pada diri seseorang di dalam masyarakat sehingga ia melibatkan dirinya ke dalam tingkah laku yang menyimpang. Merton mengemukakan bentuk kemungkinan penyesuaian atau adaptasi bagi anggota masyarakat untuk mengatasi strain (mode of adoptation), yaitu :


a. Conformity, merupakan prilaku yang terjadi manakala tujuan dan cara yang sudah ada dimasyarakat diterima dan melalui sikap itu seseorang mencapai keberhasilan.


b. Innovation, terjadi ketika masyarakat beralih menggunakan illegitimate means atau sarana-sarana yang tidak sah jika mereka menemui dinding atau halangan terhadap sarana yang sah untuk menemui sukses ekonomi tersebut.


c. Ritualism, adanya penyesuaian diri dengan norma-norma yang mengatur instutionalized means, dan hidup dalam batas-batas rutinitas hidup sehari-hari (pasrah).


d. Retreatism, mencerminkan mereka yang terlempar dari kehidupan kemasyarakatan (mengucilkan diri).


e. Rebbelion, adaptasi orang-orang yang tidak hanya menolak, tetapi juga berkeinginan untuk mengubah sistem yang ada (demonstrasi).


3) Cloward dan Ohlin


Teori Anomi versi Cloward dan Ohlin menekankan adanya „ Differential Opportunity, dalam kehidupan dan struktur masyarakat. Pendapat Cloward dan Ohlin dimuat dalam karya Delinquency and Opportunity, bahwa para kaum muda kelas bawah akan cenderung memilih satu tipe subkultural lainnya (gang) yang sesuai dengan situasi anomie mereka dan tergantung pada adanya struktur peluang melawan hukum dalam lingkungan mereka.


4) Cohen


Teori Anomi Cohen disebut Lower Class Reaction Theory. Inti teori ini adalah delinkuensi timbul dari reaksi kelas bawah terhadap nilai-nilai kelas menengah yang dirasakan oleh remaja kelas bawah sebagai tidak adil dan harus dilawan.


5) Kritik Terhadap Teori Anomi


Traub dan Little (1975) memberikan kritiknya sebagai berikut : Teori anomie tampaknya beranggapan bahwa di setiap masyarakat terdapat nilai-nilai dan norma-norma yang dominan yang diterima sebagian besar masyarakatnya, dan teori ini tidak menjelaskan secara memadai mengapa hanya individu-individu tertentu dari golongan masyarakat bawah yang melakukan penyimpangan. Analisis Merton sama sekali tidak mempertimbangkan aspek-aspek interaksi pribadi untuk menjadi deviant dan juga tidak memperhatikan hubungan erat antara kekuatan sosial dengan kecendrungan bahwa seseorang akan memperoleh cap secara formal sebagai deviant.


Cullen (1983) menyampaikan kritiknya sebagai berikut :


a. Bahwa Durkheim tidak secara jelas merinci sifat dari keadaan sosial yang sedang terjadi. Sekalipun Durkheim mengemukakan pengertian-pengertian umum dengan menunjuk pada istilah common ideas, beliefs, customs, tendencies, dan opinions. Namun pengertian-pengertian tersebut tampak berdiri sendiri dan bersifat eksternal dari kesadaran individu.


b. Durkheim tidak konsisten dalam menjelaskan bagaimana “current anomy” menyebabkan bunuh diri. Ia sekurang-kurangnya telah mengaitkan current anomy kepada bunuh diri, bahwa kejadian-kejadian yang tiba-tiba seperti perceraian dan kemakmuran yang mendadak cenderung mengakibatkan bunuh diri.


c. Dalam seluruh tulisannya tentang suicide, Durkheim tidak berhasil membahas bagaimana kondisi sosial dapat membentuk penyimpangan tingkah laku di dalam masyarakat.


2. Teori-teori Penyimpangan Budaya (Cultural Deviance Theories)


Cultural deviance theories terbentuk antara 1925 dan 1940. Teori penyimpangan budaya ini memusatkan perhatian kepada kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal. Cultural deviance theories memandang kejahatan sebagai seperangkat nilai-nilai yang khas pada lower class. Proses penyesuaian diri dengan sistem nilai kelas bawah yang menentukan tingkah laku di daerah-daerah kumuh, menyebabkan benturan dengan hukum-hukum masyarakat.


Tiga teori utama dari cultural deviance theories, adalah :


1. Social disorganization
2. Differential association
3. Cultural conflict


Berikut penjelasan mengenai ketiga teori tersebut:


1) Social Disorganization Theory


Social disorganization theory memfokuskan diri pada perkembangan area-area yang angka kejahatannya tinggi yang berkaitan dengan disintegrasi nilai-nilai konvensional yang disebabkan oleh industrialisasi yang cepat, peningkatan imigrasi, dan urbanisasi. Thomas dan Znaniecky mengaitkan hal ini dengan social disorganization (disorganisasi sosial), yaitu : The breakdown of effective social bonds, family and neighborthood association, and social controls in neighborhoods and communities (tidak berlangsungnya ikatan sosial, hubungan kekeluargaan, lingkungan, dan kontrol-kontrol sosial di dalam lingkungan dan komunitas).


Menurut Thomas dan Znaniecky, bahwa lingkungan yang disorganized secara sosial, di mana nilai-nilai dan tradisi konvensional tidak ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini dapat kita lihat dalam kehidupan anak-anak yang dibesarkan di daerah pedesaan dengan budaya dan adat yang masih kental, kemudian mereka melanjutkan sekolah ke daerah perkotaan yang penuh dengan kebebasan dalam pergaulan yang pada akhirnya menjadikan mereka mengenal narkoba, minuman keras dan seks bebas. Park dan Burgess mengembangkan lebih lanjut studi tentang sosial disorganization dari Thomas dan Znaniecky dengan mengintroduksi analisis ekologis dari masyarakat manusia. Pendekatan yang kurang lebih sama digunakan para sarjana yang mengkaji human ecology (ekologi manusia), yaitu interelasi antara manusia dengan lingkungannya. Dalam studinya, Park dan Burgess meneliti karakteristik daerah yang terdiri atas zona-zona konsentrasi. Setiap zona memiliki struktur dan organisasinya sendiri, karakteristik budaya serta penghuni yang unik.


Cliford Shaw dan Henry Mckdey, menggunakan penduduk yang tersebar di ruang-ruang yang berbeda untuk meneliti secara empiris hubungan antara angka kejahatan dengan ruang-ruang yang berbeda misalnya, daerah kumuh, pusat kota, daerah perdagangan dan sebagainya. Penemuan ini berkesimpulan bahwa faktor paling krusial (menentukan) bukanlah etnisitasi, melainkan posisi kelompok di dalam penyebaran status ekonomi dan nilai-nilai budaya. Yang selanjutnya menunjukkan bahwa cultural transmition adalah: “delinquency was socially learned behavior, transmitted from one generation to the next generation in disorganized urban areas” (delinquensi adalah perilaku sosial yang dipelajari, yang dipindahkan dari geneerasi yang satu ke generasi berikutnya pada lingkungan kota yang tidak teratur. Contohnya dapat kita lihat dalam kehidupan masyarakat Bugis yang sudah terbiasa membawa senjata tajam berupa badik yang merupakan senjata tradisional masyarakat dan dilakukan secara turun temurun, padahal ini merupakan tindak pidana.


Kritik Terhadap Social Disorganization Theory adalah sebagai berikut:


a. Terlalu tergantung pada data resmi yang sangat mungkin mencerminkan ketidaksukaan polisi pada lingkungan kumuh.


b. Terlalu terfokus pada bagaimana pola-pola kejahatan diteransmisikan, bukan pada bagaimana ia dimulai pertama kali.


c. Tidak dapat menjelaskan mengapa delinquncy berhenti dan tidak menjadi kejahatan begitu mereka beranjak besar.


d. Mengapa banyak orang di daerah yang “socialy disorganized” tidak melakukan perbuatan jahat.
e. Tidak menerangkan delinquency di kalangan kelas menengah.


2) Differential Association


Porf. E.H Sutherland mencetuskan teori yang disebut Differential Association Theory sebagai teori penyebab kejahatan. Ada 9 proporsi dalam menjelaskan teori tersebut, yaitu sebagai berikut:


a. Criminal behavior is learned (tingkah laku kriminal dipelajari)


b. Criminal behavior is learned in interaction with other person in a process of communication (tingkah laku kriminal dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam proses komunikasi).


c. The principle part of the learning of criminal behavior occurs within intimate personal groups (bagian terpenting dalam mempelajari tingkah laku kriminal itu terjadi di dalam kelompok-kelompok orang yang intim/dekat).


d. When criminal behavior is learned, the learning includes techniques of committing the crime, which are sometimes very complicated, sometimes very simple and the specific direction of motives, drives, rationalizations, and attitude (ketika tingkah laku kriminal dipelajari, pelajaran itu termasuk teknik-teknik melakukan kejahatan, yang kadang-kadang sangat sulit, kadang-kadang sangat mudah dan arah khusus dari motif-motif, dorongan-dorongan, rasionalisasi-rasionalisasi, dan sikap-sikap).


e. The specific direction of motives and drives is learned from definitions of the legal codes as favorable or unfavorable (arah khusus dari motif-motif dan dorongan-dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari aturan-aturan hukum apakah ia menguntungkan atau tidak).


f. A person becomes delinquent because of an excess of definitions favorable to violation of law over definitions unfavorable to violation of law (seseorang yang menjadi delinquent karena definisi-definisi yang menguntungkan untuk melanggar hukum lebih kuat dari definisi-definisi yang tidak menguntungkan untuk melanggar hukum).


g. Differential association may vary in frequency, duration, priority, and intencity (asosiasi differential itu mungkin berbeda-beda dalam frekuensi/kekerapannya, lamanya, prioritasnya, dan intensitasnya).


h. The process of learning criminal behavior by association with criminal and anticriminal patterns involves all of the mechanism that are involved in any other learning (proses mempelajari tingka laku kriminal melalui pergaulan dengan pola-pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar).


i. While criminal behavior is an expression of general needs and values, it is not explained by those general needs and values, since noncriminal behavior is an expression of the same needs and values (walaupun tingkah laku kriminal merupakan ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum, tingkah laku kriminal itu tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut, karena tingkah laku nonkriminal juga merupakan ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama).


Makna teori Sutherland merupakan pendekatan individu mengenai seseorang dalam kehidupan masyarakatnya, karena pengalaman-pengalamannya tumbuh menjadi penjahat. Dan bahwa ada individu atau kelompok individu yang secara yakin dan sadar melakukan perbuatannya yang melanggar hukum. Hal ini disebabkan karena adanya dorongan posesif mengungguli dorongan kreatif yang untuk itu dia melakukan pelanggaran hukum dalam memenuhi posesifnya. Meskipun banyak pakar krimonologi telah memberikan pendapat, atau komentar, dapat dikatakan bahwa teori asosiasi diferensial masih relevan dengan situasi dan kondisi kehidupan sosial sampai dengan abad ini.
Kritik Terhadap Differential Association Theory adalah sebagai berikut:


a. Mengapa tidak setiap orang yang berhubungan dengan pola-pola tingkah laku kriminal menjadi seorang penjahat?


b. Mengapa beberapa orang yang mempelajari pola-pola tingkah laku kriminal tidak terlibat dalam perbuatan kriminal?


c. Teori ini tidak menjelaskan bagaimana penjahat yang pertama kali menjadi penjahat.


3) Culture Conflict Theory


Culture conflict theory menjelaskan keadaan masyarakat dengan ciri-ciri yaitu kurangnya ketetapan dalam pergalan hidup dan sering terjadi pertemuan norma-norma dari berbagai daerah yang satu sama lain berbeda bahkan ada yang saling bertentangan. Hal ini sesuai dengan pendapat Thorsten Sellin, setiap kelompok masyarakat memiliki conduct norms-nya sendiri dan bahwa conduct norms dari satu kelompok mungkin bertentangan dengan conduct norms kelompok lain.


Sellin membedakan antara konflik primer dan konflik sekunder. Konflik primer terjadi ketika norma-norma dari dua budaya bertentangan (clash). Konflik sekunder muncul jika suatu budaya berkembang menjadi budaya yang berbeda-beda, masing-masing memiliki perangkat conduct norms-nya sendiri. Konflik jenis ini terjadi ketika satu masyarakat homogen atau sederhana menjadi masyarakat yang kompleks di mana sejumlah kelompok-kelompok sosial berkembang secara konstan dan norma-norma seringkali tertinggal. Contohnya di Bali seorang wanita dewas biasanya mandi di tempat umum dengan telanjang (bugil) dan hal ini bukan merupakan suatu pelanggaran asusila tetapi ketiga orang Bali tersebut berada di daerah lain, misalnya di Aceh dan tetap melakukan hal yang sama maka hal tersebut merupakan pelanggaran asusila yang menyebabkan pertentangan budaya. Culture conflict theory terdiri subcultural theories, yang kemudian terbagi lagi menjadi subculture of violance.


Teori subculture timbul ketika orang-orang dalam keadaan yang serupa mendapati diri mereka terpisah dari mainstream (arus terbesar) masyarakat dan mengingatkan diri bersama untuk saling mendukung. subculture terbentuk dengan anggota sesama suku atau ras minioritas.


Sebagai contoh dari teori subculture ini adalah anak-anak kelas bawah yang tidak pernah mengenal gaya hidup kelas menengah, dan kemudian disekolahkan di sekolah elite. Maka anak-anak kelas bawah ini berusaha beradaptasi dengan anak-anak dari kalangan menengah ke atas. Akan tetapi ketika anak-anak dari kelas bawah tersebut diperhadapkan dengan kehidupan mewah yang tidak dapat mereka jangkau, maka hal seperti inilah yang membuat frusturasi dan tekanan pada anak tersebut dan memungkinkan terjadi tindak kejahatan seperti mencuri untuk mengikuti gaya hidup teman-temannya. Pada teori sub culture of violence, Marvin Wolfgang dan Franc Ferracuti memfokuskan pada culture conflict (konflik budaya), dan violent crime (kejahatan kekerasan). Sub budaya yang mengikuti conduct norms yang kondusif bagi kekerasan disebut dengan subcultures of violence. Kekerasan tidak digunakan dalam semua situasi, namun sering merupakan suatu tanggapan yang diharapkan. Jadi, anggota sub budaya seperti ini tidak merasa bersalah dengan agresi mereka. Sebaliknya orang-orang yang tidak melakukan kekerasan mungkin akan dicela. Sistem nilai seperti ini ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.


Kritik Terhadap Culture Conflict Theory adalah sebagai berikut :


a. Teori ini tidak menjelaskan mengapa kebanyakan delinquent pada akhirnya menjadi orang yang taat hukum meskipun kedudukan mereka dalam struktur kelas relatif tetap (kelas bawah).


b. Tidak jelas apakah anak-anak muda itu didorong oleh kekuatan motivasi serius atau hanya keluar jalanan untuk mencari kesenangan.


c. Jika sub budaya dilinquent akibat dari mengukur anak-anak kelas bawah dengan menggunakan alat ukur kelas menengah, lalu bagaimana orang akan menerangkan delinquent kelas menengah ke atas.


3. Teori Kontrol Sosial (Control Social Theory)


Pengertian teori kontrol atau control theory merujuk pada setiap perspektif yang membahas ihwal pengendalian tingkah laku manusia. Semetara itu, pengertian teori kontrol sosial merujuk kepada pembahasan delinquency dan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan, dan kelompok dominan.


Ada beberapa tokoh dari teori kontrol sosial yaitu:


1) Albert J. Reiss, Jr.


Pada tahun (1951) Albert J. Reiss, Jr. Telah menggabungkan konsep tentang kepribadian dan sosialisasi ini dengan hasil penelitian dari aliran Chicago dan telah menghasilkan teori kontrol sosial. Teori yang kemudian hari memperoleh perhatian serius dari sejumlah pakar kriminologi. Reiss mengemukakan bahwa ada tiga komponen dari kontrol sosial dalam menjelaskan kenakalan remaja, yaitu :


a. Kurangnya kontrol internal yang wajar selama masa anak-anak
b. Hilangnya kontrol tersebut
c. Tidak adanya norma-norma sosial atau konflik antara norma-norma dimaksud di sekolah, orang tua, atau di lingkungan dekat.


Reiss juga membedakan dua macam kontrol, yaitu : personal control dan social control.
Personal control (internal control) adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri untuk tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Sementara itu, yang dimaksud dengan sosial kontrol atau kontrol eksternal adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat untuk melaksanakan norma-norma atau peraturan menjadi efektif. Reiss mengajukan tesis, untuk orang-orang tertentu melemahnya personal dan sosial kontrol secara relatif dapat diperhitungkan sebagai penyebab terbesar delinquency, namun dalam banyak kasus melemahnya personal dan sosial kontrol secara selayaknya diperhitungkan sebagai penyebab melemahnya delinquency.


2) Walter Reckless


Tahun (1961) dengan bantuan Simon Dinitz yang mengemukakan Containment Theory. Teori ini menjelaskan bahwa kenakalan remaja merupakan akibat dari interrelasi antara dua bentuk kontrol, yaitu kontrol eksternal dan kontrol internal. Menurut Reckless, containment internal dan external memiliki posisi netral, berada di antara tekanan sosial (social pressures) dan tarikan sosial (social pulls) lingkungan dan dorongan dari dalam individu.


3) Ivan F. Nye


Tahun (1958) telah mengemukakan teori sosial kontrol tidak sebagai suatu penjelasan umum tentang kejahatan tetapi merupakan penjelasan yang bersifat kasuistis. Nye pada hakikatnya tidak menolak adanya unsur-unsur psikologis, di samping unsur subkultural dalam proses terjadinya kejahatan. Sebagian kasus delinquency menurut Nye disebabkan gabungan antara hasil proses belajar dan kontrol sosial yang tidak efektif.


4) David Matza dan Gresham Sykes


Tahun (1957) melakukan kritik terhadap teori subkultur dari Albert Cohen. Kritik tersebut menegaskan bahwa kenakalan remaja, meskipun dilakukan oleh mereka yang berasal dari strata sosial rendah, juga terkait pada sistem-sistem nilai dominan dalam masyarakat. Sykes dan Matza kemudian mengemukakan konsep atau teori tentang technique of neutralization. Tekhnik dimaksud telah memberikan kesempatan bagi seorang individu untuk melonggarkan keterkaitannya dengan sistem nilai-nilai yang dominan tersebut, sehingga ia merasakan kebebasannya untuk melakukan kenakalan. Sykes dan Matza merinci lima teknik netralisasi sebagai berikut :


a. Denial of responcibility, merujuk kepada suatu anggapan di kalangan remaja nakal yang menyatakan bahwa dirinya merupakan korban dari orang tua yang tidak mengasihi, lingkungan, pergaulan yang buruk, atau berasal dari tempat tinggal yang kumuh. Contoh, ia mencuri karena tidak disekolahkan oleh orang tuanya, selalu dicela oleh masyarakat, dan sebagainya.


b. Denial of injury, merujuk kepada suatu alasan di kalangan remaja nakal bahwa tingkah laku mereka sesungguhnya tidak merupakan suatu bahaya yang besar. Dengan demikian mereka beranggapan bahwa vandalism (mencoret-coret pintu WC, kursi bus umum dll) merupakan suatu kelalaian semata-mata, dan mencuri mangga dianggap soal biasa saja, mencuri sandal di masjid, dan lain-lain.


c. Denial of the victim, merujuk kepada suatu keyakinan diri pada remaja nakal bahwa mereka adalah pahlawan, sedangkan korban justru dipandang sebagai mereka yang melakukan kejahatan. Merusak sekolah karena tidak naik kelas, memukul siswa sekolah lain yang dianggap musuh kelompoknya, dan sebagainya.


d. Condemnation of the Condemners, merujuk kepada suatu anggapan bahwa polisi sebagai hipokrit sebagai pelaku yang melakukan kesalahan atau memiliki perasaan tidak senang pada mereka. Polisi juga selalu melakukan kesalahan.


e. Appeal to higher loyalities, merujuk kepada adanya kesetiakawanan yang tinggi pada anggota kelompoknya.


5) Travis Hirschi


Tahun (1969) telah mengemukakan teori kontrol sosial paling andal dan sangat popular. Hirschi dengan keahliannya merevisi teori- teori sebelumnya mengenai kontrol sosial telah memberikan suatu gambaran yang jelas megenai konsep social bonds (ikatan sosial). Hirschi sependapat dengan Durkheim dan yakin bahwa tingkah laku seseorang mencerminkan berbagai ragam pandangan tentang kesusilaan. Hirschi berpendapat bahwa seseorang bebas untuk melakukan kejahatan atau penyimpangan-penyimpangan tingkah lakunya. Selain menggunakan teknik netralisasi untuk menjelaskan tingkah laku dimaksud, Hirschi menegaskan bahwa penyimpangan tingkah laku tersebut diakibatkan oleh tidak adanya keterkaitan moral dengan orang tua, sekolah, dan lembaga lainnya. Hirschi kemudian menjelaskan bahwa sosial bonds meliputi empat unsur, yaitu :


a. Attachment (keterikatan), adalah keterkaitan seseorang pada (orang tua), sekolah, atau lembaga lainnya yang dapat mencegah atau menghambat yang bersangkutan untuk melakukan kejahatan.


b. Involvement (keterlibatan), bahwa frekuensi kegiatan positif (belajar tekun, anggota pramuka, panjat tebing), dll. Cenderung menyebabkan Seseorang itu tidak terlibat dalam kejahatan.


c. Commitment (pendirian kuat yang positif), bahwa sebagai suatu investasi seseorang dalam masyarakat antara lain dalam bentuk pendidikan, reputasi yang baik, dan kemajuan dalam bidang wiraswasta tetap dijaga untuk mewujudkan cita-citanya.


d. Belief (pandangan nilai moral yang tinggi), merupakan unsur yang mewujudkan pengakuan seseorang akan norma-norma yang baik dan adil dalam masyarakat. Unsur ini menyebabkan seseorang menghargai norma-norma dan aturan-aturan serta merasakan adanya kewajiban moral untuk menaatinya.


Kritik Terhadap Teori Hirschi adalah sebagai berikut :


a. Teori ini hanya menjelaskan kenakalan remaja (delinquency) dan bukan kejahatan oleh orang dewasa.


b. Teori ini menaruh perhatian pada sikap, kepercayaan, keinginan, dan tingkah laku yang meskipun menyimpang bagi anak remaja seperti, merokok, minum minuman keras, dll. Namun bagi orang dewasa perbuatan itu merupakan perbuatan yang wajar-wajar saja.


c. Penggunaan terlalu sedikit item pertanyaan untuk mengukur ikatan sosial.


Itulah beberapa teori mengenai perspektif sosiologis dalam mempelajari kriminologi. Meskipun antara teori satu dengan yang lainnya banyak yang bertentangan dan tidak luput dari berbagai kritik, akan tetapi peran dari masing-masing teori tersebut sangat besar dalam rangka memahami ilmu kriminologi khususnya dalam pendekatan sosiologis ini.


Fabian SSK

“The quality, not the longevity, of one’s life is what is important.” – Martin Luther King Jr.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
Your Ads Here

Your Ads Here

Your Ads Here

Formulir Kontak