Pancasila Sebagai Salam Nasional?

Dalam pergaulan hidup sehari-hari tentu kita sangat sering menggunakan salam, baik itu ketika kita bertemu seseorang di jalan, datang bertamu ke rumah kerabat atau bahkan ketika bertindak sebagai pembicara di depan umum. Kami merasa bahwa semua orang sudah mengerti maksud dari sebuah salam yang sering mereka ucapkan. Kita sudah sama-sama tahu bahwa salam bukan hanya sekedar kalimat sapaan kepada seseorang. Akan tetapi dalam salam yang sering diucapkan itu terkandung sebuah doa atau harapan bagi setiap orang yang menggunakan salam tersebut.


Seperti yang sama-sama kita ketahui bahwa di Indonesia terdapat berbagai agama dan kepercayaan dimana masing-masing agama dan kepercayaan tersebut memiliki salam yang berbeda-beda namun memiliki inti yang sama yaitu sebagai sebuah doa sebagaimana yang telah dipaparkan di atas.


Keberagaman agama dan kepercayaan di Indonesia tidak lantas membuat Indonesia terpecah belah akan tetapi sampai saat ini Negara Kesatuan Republik Indonesia masih kokoh berdiri di tengah berbagai permasalahan yang terus diusahakan untuk diselesaikan. Meskipun demikian, berbagai upaya terus dilakukan pemerintah dalam rangka semakin menguatkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Salah satu upaya yang coba diusulkan untuk mempererat persatuan bangsa Indonesia adalah Salam Pancasila sebagai Salam Nasional.


Sebelum lebih jauh kita membahas tentang Salam Pancasila sebagai Salam Nasional, sangat penting bagi kita semua untuk kembali membuka lembaran sejarah tentang penggunaan Salam Nasional. Dalam sejarahnya, negara kita sebenarnya sudah tidak asing lagi mengenai Salam Nasional.


Pada awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia, pernah memperkenalkan Salam Nasional yang lebih dikenal dengan “Pekik Merdeka”. Akan tetapi tidak banyak catatan sejarah yang mengulas secara spesifik mengenai salam ini. Salah satu yang bisa dijadikan referensi adalah sebuah autobiografi Bung Karno yang ditulis oleh Cindy Adams.


Dalam autobiografi tersebut Bung Karno mengatakan bahwa “sebagaimana Nabi Besar Muhammad SAW memperkenalkan salam untuk mempersatukan umatnya, kami pun menciptakan satu salam kebangsaan bagi bangsa Indonesia”. Lebih lanjut Beliau mengatakan bahwa “pada tanggal 1 September aku menetapkan supaya setiap warga negara Indonesia memberi salam kepada orang lain dengan mengangkat tangan, membuka lebar kelima jarinya sebagai pencerminan lima dasar negara dan meneriakkan merdeka!”.


Apabila kita melihat bunyi pernyataan Bung Karno tersebut maka dapat kita simpulkan bahwa tujuan Beliau dalam memperkenalkan salam tersebut adalah sebagai alat pemersatu yang diharapkan mampu menyatukan masyarakat Indonesia yang pada saat itu masih kental dengan sekat kedaerahan, suku, golongan maupun agama. Terlebih lagi pada saat itu Indonesia baru saja merdeka dan ancaman perpecahan bangsa baik dari dalam maupun dari luar negeri masih mengintai Republik Indonesia.


Salam yang dicetuskan oleh Bung Karno tersebut kemudian disahkan dalam Maklumat Pemerintah 31 Agustus 1945 dan berlaku 1 September 1945. Maklumat tersebut pun hingga kini belum dicabut. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, salam yang perkenalkan oleh Bung Karno tersebut tidak lagi digunakan. Salam ini kemudian kembali diadopsi dan diperkenalkan oleh Ketua Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) Megawati Soekarnoputri pada hari Sabtu tanggal 12 Agustus 2017 di hadapan ratusan Mahasiswa peserta penguatan pendidikan Pancasila di halaman Istana Presiden.


Wacana penggunaan Salam Pancasila kembali mecuat setelah adanya usulan penggunaan salam ini sebagai Salam Nasional. Usulan ini dilontarkan oleh Yudian Wahyudi selaku Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam sebuah dokumentasi wawancara khusus yang di publikasikan pada tanggal 12 Februari 2020 oleh detik.com. Usulan yang dilontarkan oleh Kepala BPIP ini menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Ada berbagai penafsiran yang muncul akibat pernyataan yang dilontarkan tersebut.


Baca Juga :
Hak Asasi Manusia Dalam Berekspresi


Munculnya pendapat kontra dengan pernyataan tersebut disebabkan adanya penafsiran bahwa Salam Pancasila tersebut mau menggantikan salam yang telah diajarkan dan digunakan oleh agama yang ada. Dengan demikian banyak pihak yang berpendapat bahwa merupakan suatu hal yang tidak dibolehkan apabila kita hendak mengganti sesuatu yang telah diajarkan secara mutlak oleh agama. Selain itu, negara juga telah memberikan perlindungan secara hukum melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk melaksanakan ajaran agama masing-masing warga negara. Dengan demikian tidak seharusnya negara mencoba menggangu-gugat suatu ajaran agama yang ada di Indonesia.


Sedangkan pihak yang pro terhadap usulan tersebut berpendapat bahwa Salam Pancasila merupakan suatu hal yang relevan digunakan sebagai jalan tengah (solusi) untuk mengatasi polemik salam lintas agama. Mengingat negara Indonesia adalah negara yang didirikan dari berbagai agama, suku, dan golongan yang didasarkan pada Pancasila. Pancasila merupakan pencerminan dari nila-nilai yang bangsa Indonesia termasuk di dalamnya nilai agama yang dijelaskan dalam sila pertama. Jika salam yang digunakan oleh pejabat publik hanya menggunakan salam menurut agama yang dianutnya, hal ini seolah-olah memperlihatkan bahwa pejabat tersebut hanya menjabat untuk golongan tertentu. Sedangkan ketika seseorang telah menjdai pejabat (pelayan rakyat) bukan hanya menjabat untuk satu golongan tetapi semua golongan. Maka untuk itu diperlukanlah suatu salam yang bisa mewakili semua golongan yaitu salam Pancasila.


Terlepas dari pandangan pro dan kontra mengenai Salam Pancasila tersebut, jangan sampai permasalahan salam ini bisa memecah belah keutuhan bangsa. Sebagai warga negara kita harus mampu menyikapi berbagai permasalahan dengan pandangan yang luas dan tidak hanya melihat dari satu sudut pandang. Apapun yang menjadi permasalahan bangsa ini apabila kita telah menanamkan rasa cinta tanah air dalam diri kita maka bukan suatu hal yang mustahil kita akan tetap bersatu meskipun berbagai permasalahan menimpa bangsa kita tercinta. (drsm/uc)

Fabian SSK

“The quality, not the longevity, of one’s life is what is important.” – Martin Luther King Jr.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
Your Ads Here

Your Ads Here

Your Ads Here

Formulir Kontak