“Harto, saya sudah diakui sebagai pemimpin dunia. Konsep Nasakom sudah saya jual kepada bangsa bangsa di dunia, Sekarang saya harus membubarkan PKI. Dimana muka saya harus ditaruh?“
Soeharto dan Soekarno
Bung Karno tentu bersikeras menolak untuk membubarkan PKI. Pertama ia juga tidak yakin PKI yang merencanakan kudeta ini. Ia lebih mempercayai bahwa hanya oknum oknum PKI yang keblinger bersama anasir kekuatan luar yang merancang semuanya. Soeharto sendiri sudah bosan dan hampir menyerah untuk membujuk Bung Karno membubarkan PKI. Posisinya sulit, karena disatu pihak, dia menghormati Presiden tapi disisi lain, para mahasiswa, demonstran, bahkan jenderal jenderal seperti HR Dharsono, Kemal Idris atau Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie juga mendesak untuk mengambil tindakan keras kepada Bung Karno.
Asisten Soeharto, Jend Alamsyah mempunyai usul untuk memakai orang non ABRI, orang sipil yang dikenal dekat dengan Bung Karno juga. Jadilah Alamsyah mengutus Hasyim Ning dan Dasaad untuk membujuk Bung Karno. Usaha ini juga gagal, bahkan Hasyim Ning harus terkena asbak yang dilempar Bung Karno
"Kamu orangnya Soeharto!“, Begitu Bung Karno berteriak.
Jenderal Amir Mahmud, Pangdam Jaya waktu mengakui bahwa semuanya serba khaos, bahkan bisa dibilang tidak ada disiplin militer. Karena ada tarik menarik kekuatan diantara ABRI sendiri. Mana yang pro Bung Karno dan mana yang mendukung Pak Harto. Waktu Bung Karno membetuk kabinet baru. Banyak nama nama jenderal yang sebenarnya tidak dalam ‘ persetujuan ‘ ABRI.
Jenderal Nasution misalnya juga memerintahkan untuk tidak mengijinkan Jend Moersid dan Jend. Sarbini masuk ke Departemen Hankam untuk serah terima jabatan.
Pada pagi tanggal 11 Maret 1966, Jend Sabur sudah menelpon Pangdam Jaya, Amir Mahmud menanyakan jaminan keamaan pada sidang kabinet hari itu. Tentu saja Amir Mahmud menjamin keamanan, padahal dia juga tidak tahu bakal ada pasukan liar dari Jenderal Kemal Idris. Bahkan Pangdam Jaya juga ada di beranda Istana menemani Bung Karno bersama Waperdam Leimena, Subandrio dan Chaerul Saleh sebelum bersama sama ikut masuk ke dalam sidang.
Saat Bung Karno sedang membacakan pidato. Tiba tiba Jenderal Sabur mengirimi nota ke Amir Mahmud yang memintanya keluar sebentar. Nota itu didiamkan oleh Amir Mahmud, karena ia tidak mungkin main slonong boy keluar dari rapat yang dipimpin Presiden. Rupanya Brigjen Sabur tidak sabar dan tak mau ambil resiko, lalu dia menyampaikan sendiri nota ke Bung Karno.
Dalam catatan Amir Mahmud.
“Saya lihat tangan Bung Karno gemetar membaca notanya, lalu berbicara dengan Subandrio. Setelah itu sidang diserahkan kepada Pak Leimena. Bung Karno dan tergopoh gopoh meninggalkan istana, diikuti Subandrio dan Chaerul Saleh“.
Kelak Jenderal Kemal Idris dengan gaya bicaranya yang spontan, mengakui kalau dia sengaja menaruh pasukan di depan Istana. Dia perintahkan anak buahnya, untuk mencopot identitas pasukan dari seragamnya. Sehingga terkesan pasukan tidak dikenal sedang mengepung Istana yang sedang melakukan sidang kabinet. Padahal tujuannya untuk menangkap Subandrio. Tapi dibuat semacam psy war sehingga mempengaruhi jalannya rapat.
Soeharto yang hari itu sedang sakit flu, sehingga harus istirahat di rumahnya mengutus Jenderal Yusuf, Basuki Rahmat dan Amir Mahmud untuk menyusul Bung Karno yang menyingkir ke Istana Bogor.
Pesan Soeharto jelas. Ia bersedia memikul tanggung jawab apabila diberi kewenangan untuk melaksanakan stabilitas keamanan dan politik.
Ajudan Presiden, Jenderal Sabur mengenang,
“Sebenarnya ketika para Jenderal datang ke Istana Bogor. Bung Karno tidak mau menerima. Cuma saya desak untuk menemui, sehingga Bung Karno agak nurut. Bagaimanapun saat itu Bung Karno alergi dengan jenderal jenderal yang diutus oleh Pak Harto. Lalu Pak Basuki Rahmat sebagai yang tertua menjelaskan kedatangannya serta membawa pesan Pak Harto. Diluar dugaan Bung Karno menyambut terbuka dan menanyakan alternative alternative untuk mengatasi situasi politik.
“Jenderal Yusuf menunjukan sikpanya yang keras. Mungkin secara pribadi Yusuf dan Amir Mahmud sudah dikenal dekat dengan Bung Karno, sehingga terbiasa melontarkan pendapat. Kalau biasanya mereka selalu diam ketika Bung Karno bersikeras, kali ini Jenderal Yusuf tidak mau menyerah dan terus mendesak Bung Karno untuk menuntaskan permasalahan. Ini tindakan yang sebelumnya tidak pernah dilakukan oleh bawahan, menteri, jenderal sekalipun. Terutama mereka yang hormat kepada Bung Karno.
Jend Yusuf mengingat dalam memoarnya,
“Bung Karno berpendapat, bahwa harus dipisahkan oknum yang diadili dengan partai komunis. Kami menunjukan bukti bahwa, partai dan orang / oknum ini sebagai kesatuan gerak. Sama sama bersalah. Argumentasi yang kami patahkan, bahwa jika Bung Karno menghapus unsur ‘ kom ‘nya maka wibawa dia akan jatuh. Saya bilang, justru sebaliknya Pak. Dengan membuang komunis. Wibawa bapak akan naik, dan rakyat percaya. Lalu kami bisa meyakinkan Bung Karno bahwa Pak Nasution tidak dibelakang semua ini. Karena Bung Karno mencurigai bahwa kelak Pak Nas akan memimpin AD melawan Bung Karno. Sebenarnya yang paling penting adalah bagaimana, secara psikologis bisa meyakini Bung Karno, bahwa keselamatannya dan keluarganya dijamin. Lebih lebih karena situasi yang tidak jelas ini.“
Kesaksian ini juga menepis issue todongan senjata seperti yang dikatakan Letnan Sukardjo Wilardjito, bahwa Jendral M Panggabean dan Jend Basuki Rahmat menodongkan senjata ke kepala Bung Karno.
Saat itu memang Bung Karno mencemaskan masalah keamanan keluarganya. Dia tidak mau ada oknum oknum militer yang kebablasan, setelah mendengar berita, Nyoto – salah satu Menteri – yang hilang misterius setelah pulang dari sidang kabinet.
Konon dicurigai anak buah Jendral Soemitro yang menculiknya dalam perjalanan pulang. Sampai sekarang tidak diketahui keberadaan Nyoto.
Itu juga yang membuat Bung Karno memohon sambil memeluk Jenderal Amir Mahmud ketika pasukannya menangkap Soebandrio di Istana Merdeka.
“Tolong dia jangan dibunuh ya Mir…“
Setelah para Jenderal dan Bung Karno merumuskan sebuah konsep, barulah Soebandrio, Leimena dan Chaerul Saleh di panggil masuk. Pertama tama Bung Karno bertanya ke Soebandrio
“Bagaimana Ban? kau setuju?“
Jawab Soebandrio.
“Ya bagaimana Bung Karno sudah setuju tanpa berunding dengan kami“
Lantas dipotong Bung Karno. “ tapi kau setuju kan?.
Dijawab lagi “Kalau bisa perintah lisan saja pak. Jangan tertulis“
Soebandrio hanya mengingat, bahwa para jenderal melotot padanya, karena usulannya ke Bung Karno.
Lalu Soebandrio dan Chaerul Saleh ikut memberi masukan. Surat tadi dikoreksi. Ada empat hal. Pertama, Presiden Sukarno memberikan mandat ke Jenderal Soeharto utk mengamankan Jakarta, juga harus kerja sama dengan unsur unsur kekuasaan lainnya. Kedua, penerima mandat wajib melaporkan semua tindakan ke presiden. Ketiga, penerima mandat wajib mengamankan Presiden dan keluarganya. Keempat. Penerima mandat wajib melestarikan ajaran ajaran Bung Karno.
Setelah itu giliran para Jenderal yang tidak puas dengan rumusan Soebandrio, karena mengecilkan wewenang Jenderal Soeharto. Setelah jedah sholat magrib. , mereka kembali merumuskan lagi kembali surat pemberian kewenangan itu. Baru konsep itu diketik oleh Jenderal Sabur.
Mengenai kontroversi bahwa surat itu diketik atas kop surat Markas Besar Angkatan Darat. Jenderal Sabur mengatakan,
“Tepatnya Bung Karno dan para Jenderal mencorat coret di kertas kosong. Tapi saya lupa ketika saya menyalin ke mesin tik itu memakai kertas kop surat AD atau bukan. Yang jelas saya mengetik di pavilion sebelah. Ada Bu Hartini dan ajudan Mangil yang melihat saya mengetik.“
Lalu ketikan itu dibawa kembali ke ruang tengah. Setelah dibaca bersama, lalu Bung Karno meminta pendapat Leimena, yang dijawab.
“No comment ik laat het helemaal aan u over. Saya serahkan sepenuhnya kepada anda.“
Chaerul Saleh minta agar Presiden shalat dahulu sebelum mengambil keputusan. Dan yang paling akhir adalah pendapat dari Soebandrio.
“Als u deze brief tekent dan valt u in the trap. Kalau surat ini ditandatangani, sama saja masuk perangkap “
Para Jenderal semakin kesal dengan Soebandrio. Jenderal Yusuf sudah memberi kode ke Jenderal Amir Mahmud agar menyikat Soebandrio kelak. Suasana semakin menegangkan. Semua merasakan jarum jam seperti berhenti. Tak ada yang berani meninggalkan tempat itu. Jenderal Amir Mahmud sudah membayangkan kecewanya Soeharto jika mereka kembali ke Jakarta dengan tangan kosong.
Tiba tiba Bung Karno bertanya ke Amir Mahmud, sekali lagi meminta pendapat Jelas ada keraguan dimata Bung Karno.
“Sudahlah Pak. Bismilahhirrrahmannirahim saja.“ Jawab Panglima Jakarta ini.
Akhirnya Bung Karno menandatangani surat yang kita kenal sebagai Supersemar sekarang ini.
Ada lagi yang menarik bahwa kita mengenal Supersemar cuma satu lembar kertas. Sementara Jenderal Sabur mengatakan,
“Bukan selembar. Saya mengetik dalam 2 kertas. Dan masing masing rangkap tiga. Bung Karno hanya menandatangani kopi utama. Kertas itu yang dibawa Pak Basuki Rahmat ke Pak Harto. Sementara kopi atau tindasan nomer dua, saya simpan. Pak Yusuf menyimpan tindasan paling bawah atau kopi nomer tiga.“
Surat Perintah Sebelas Maret itu dibawa Brigjend Soecipto – Ketua KOTI, dan diberikan ke Kolonel Budiono, sekretaris MBAD yang membawa surat itu ke kantor G V – Koti di Merdeka Barat untuk di foto copy karena dikantor MBAD tidak ada mesin fotocopy. Mantan Mensesneg Moerdiono kelak mengatakan bahwa ia sempat meminta fotocopian sebagai dasar hukum penyiapan pembubaran PKI. Namun tidak diberikan oleh Budiono. Setelah Budiono meninggal, hilang juga surat otentik itu.
Jend. Yusuf sendiri tidak tahu kalau surat yang terdiri dari 2 lembar bisa dipersingkat jadi satu lembar. Itu mungkin terjadi dalam perjalanan dari Soeharto menuju Markas besar AD. Tapi apapun itu, menurutnya isi surat itu sama dengan apa yang dia lihat di Bogor.
Sejahrawan Ben Anderson menambahkan berdasarkan riset wawancara dengan Prajurit Cakrabirawa yang membawa mesin tik itu, bahwa besar kemungkinan surat utama yang dibawa ke Soeharto bisa menimbulkan gejolak. Dalam arti, ada kesan AD memaksa Presiden menandatangani. Sehingga Soeharto memerintahkan untuk menyalin lagi ke kertas lain. Mungkin ini yang tidak disadar bahwa penyalinan justru dibuat ke satu satu lembar. Walaupun tanpa kehilangan esensi isi surat tersebut.
Ternyata memang Jenderal Soeharto membubarkan PKI dengan landasan Supersemar. Ini membuat Bung Karno merasa Jenderal Soeharto telah melangkah terlalu jauh dalam urusan politik.
Tanggal 13 Maret Jenderal KKO Hartono menemani Pak Leimena mengantar surat perintah baru yang dikeluarkan Bung Karno ditujukan ke Jenderal Soeharto. Isinya semacam surat koreksi terhadap penyimpangan dalam aplikasi Supersemar, yakni membubarkan PKI tanpa melaporkan tindakannya kepada Presiden. Setelah membacanya. Pak Harto tidak membantah ada penyimpangan. Ia menjawab secara lisan, semua yang dilakukan menjadi tanggung jawabnya sendiri.
“Ya saya memang harus melakukan itu. Hari itu juga saya membubarkan PKI tanpa berkoordinasi dengan panglima angkatan lain dan Bung Karno. Ini yang dinamakan strategi , bukan insubordinasi. Surat susulan dari Bung Karno tanggal 13 Maret tak perlu saya hiraukan. Karena saya punya kekuatan di belakang saya. Mahasiswa, Angkatan Darat dan Rakyat yang marah“
Soeharto bahkan berani membuat maklumat Presiden No 5 yang ditanda tangani atas nama Presiden Sukarno, tanpa setahu Bung Karno. Maklumat ini untuk menangkap 15 menteri menteri yang dicurigai sebagai simpatisan Komunis.
Sejarah memang tidak bisa diulang kembali. Surat Perintah yang sudah keluar itu menjadi senjata pamungkas untuk menurunkan Bung Karno sendiri. Sejarah telah ditulis dan rezim baru meneruskan catatan tentang negeri ini.
Sumber: Buku Semua Tentang Soekarno & Soekarno Sang Guru Bangsa
Soeharto dan Soekarno
Bung Karno tentu bersikeras menolak untuk membubarkan PKI. Pertama ia juga tidak yakin PKI yang merencanakan kudeta ini. Ia lebih mempercayai bahwa hanya oknum oknum PKI yang keblinger bersama anasir kekuatan luar yang merancang semuanya. Soeharto sendiri sudah bosan dan hampir menyerah untuk membujuk Bung Karno membubarkan PKI. Posisinya sulit, karena disatu pihak, dia menghormati Presiden tapi disisi lain, para mahasiswa, demonstran, bahkan jenderal jenderal seperti HR Dharsono, Kemal Idris atau Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie juga mendesak untuk mengambil tindakan keras kepada Bung Karno.
Asisten Soeharto, Jend Alamsyah mempunyai usul untuk memakai orang non ABRI, orang sipil yang dikenal dekat dengan Bung Karno juga. Jadilah Alamsyah mengutus Hasyim Ning dan Dasaad untuk membujuk Bung Karno. Usaha ini juga gagal, bahkan Hasyim Ning harus terkena asbak yang dilempar Bung Karno
"Kamu orangnya Soeharto!“, Begitu Bung Karno berteriak.
Jenderal Amir Mahmud, Pangdam Jaya waktu mengakui bahwa semuanya serba khaos, bahkan bisa dibilang tidak ada disiplin militer. Karena ada tarik menarik kekuatan diantara ABRI sendiri. Mana yang pro Bung Karno dan mana yang mendukung Pak Harto. Waktu Bung Karno membetuk kabinet baru. Banyak nama nama jenderal yang sebenarnya tidak dalam ‘ persetujuan ‘ ABRI.
Jenderal Nasution misalnya juga memerintahkan untuk tidak mengijinkan Jend Moersid dan Jend. Sarbini masuk ke Departemen Hankam untuk serah terima jabatan.
Pada pagi tanggal 11 Maret 1966, Jend Sabur sudah menelpon Pangdam Jaya, Amir Mahmud menanyakan jaminan keamaan pada sidang kabinet hari itu. Tentu saja Amir Mahmud menjamin keamanan, padahal dia juga tidak tahu bakal ada pasukan liar dari Jenderal Kemal Idris. Bahkan Pangdam Jaya juga ada di beranda Istana menemani Bung Karno bersama Waperdam Leimena, Subandrio dan Chaerul Saleh sebelum bersama sama ikut masuk ke dalam sidang.
Saat Bung Karno sedang membacakan pidato. Tiba tiba Jenderal Sabur mengirimi nota ke Amir Mahmud yang memintanya keluar sebentar. Nota itu didiamkan oleh Amir Mahmud, karena ia tidak mungkin main slonong boy keluar dari rapat yang dipimpin Presiden. Rupanya Brigjen Sabur tidak sabar dan tak mau ambil resiko, lalu dia menyampaikan sendiri nota ke Bung Karno.
Dalam catatan Amir Mahmud.
“Saya lihat tangan Bung Karno gemetar membaca notanya, lalu berbicara dengan Subandrio. Setelah itu sidang diserahkan kepada Pak Leimena. Bung Karno dan tergopoh gopoh meninggalkan istana, diikuti Subandrio dan Chaerul Saleh“.
Kelak Jenderal Kemal Idris dengan gaya bicaranya yang spontan, mengakui kalau dia sengaja menaruh pasukan di depan Istana. Dia perintahkan anak buahnya, untuk mencopot identitas pasukan dari seragamnya. Sehingga terkesan pasukan tidak dikenal sedang mengepung Istana yang sedang melakukan sidang kabinet. Padahal tujuannya untuk menangkap Subandrio. Tapi dibuat semacam psy war sehingga mempengaruhi jalannya rapat.
Soeharto yang hari itu sedang sakit flu, sehingga harus istirahat di rumahnya mengutus Jenderal Yusuf, Basuki Rahmat dan Amir Mahmud untuk menyusul Bung Karno yang menyingkir ke Istana Bogor.
Pesan Soeharto jelas. Ia bersedia memikul tanggung jawab apabila diberi kewenangan untuk melaksanakan stabilitas keamanan dan politik.
Ajudan Presiden, Jenderal Sabur mengenang,
“Sebenarnya ketika para Jenderal datang ke Istana Bogor. Bung Karno tidak mau menerima. Cuma saya desak untuk menemui, sehingga Bung Karno agak nurut. Bagaimanapun saat itu Bung Karno alergi dengan jenderal jenderal yang diutus oleh Pak Harto. Lalu Pak Basuki Rahmat sebagai yang tertua menjelaskan kedatangannya serta membawa pesan Pak Harto. Diluar dugaan Bung Karno menyambut terbuka dan menanyakan alternative alternative untuk mengatasi situasi politik.
“Jenderal Yusuf menunjukan sikpanya yang keras. Mungkin secara pribadi Yusuf dan Amir Mahmud sudah dikenal dekat dengan Bung Karno, sehingga terbiasa melontarkan pendapat. Kalau biasanya mereka selalu diam ketika Bung Karno bersikeras, kali ini Jenderal Yusuf tidak mau menyerah dan terus mendesak Bung Karno untuk menuntaskan permasalahan. Ini tindakan yang sebelumnya tidak pernah dilakukan oleh bawahan, menteri, jenderal sekalipun. Terutama mereka yang hormat kepada Bung Karno.
Jend Yusuf mengingat dalam memoarnya,
“Bung Karno berpendapat, bahwa harus dipisahkan oknum yang diadili dengan partai komunis. Kami menunjukan bukti bahwa, partai dan orang / oknum ini sebagai kesatuan gerak. Sama sama bersalah. Argumentasi yang kami patahkan, bahwa jika Bung Karno menghapus unsur ‘ kom ‘nya maka wibawa dia akan jatuh. Saya bilang, justru sebaliknya Pak. Dengan membuang komunis. Wibawa bapak akan naik, dan rakyat percaya. Lalu kami bisa meyakinkan Bung Karno bahwa Pak Nasution tidak dibelakang semua ini. Karena Bung Karno mencurigai bahwa kelak Pak Nas akan memimpin AD melawan Bung Karno. Sebenarnya yang paling penting adalah bagaimana, secara psikologis bisa meyakini Bung Karno, bahwa keselamatannya dan keluarganya dijamin. Lebih lebih karena situasi yang tidak jelas ini.“
Kesaksian ini juga menepis issue todongan senjata seperti yang dikatakan Letnan Sukardjo Wilardjito, bahwa Jendral M Panggabean dan Jend Basuki Rahmat menodongkan senjata ke kepala Bung Karno.
Saat itu memang Bung Karno mencemaskan masalah keamanan keluarganya. Dia tidak mau ada oknum oknum militer yang kebablasan, setelah mendengar berita, Nyoto – salah satu Menteri – yang hilang misterius setelah pulang dari sidang kabinet.
Konon dicurigai anak buah Jendral Soemitro yang menculiknya dalam perjalanan pulang. Sampai sekarang tidak diketahui keberadaan Nyoto.
Itu juga yang membuat Bung Karno memohon sambil memeluk Jenderal Amir Mahmud ketika pasukannya menangkap Soebandrio di Istana Merdeka.
“Tolong dia jangan dibunuh ya Mir…“
Setelah para Jenderal dan Bung Karno merumuskan sebuah konsep, barulah Soebandrio, Leimena dan Chaerul Saleh di panggil masuk. Pertama tama Bung Karno bertanya ke Soebandrio
“Bagaimana Ban? kau setuju?“
Jawab Soebandrio.
“Ya bagaimana Bung Karno sudah setuju tanpa berunding dengan kami“
Lantas dipotong Bung Karno. “ tapi kau setuju kan?.
Dijawab lagi “Kalau bisa perintah lisan saja pak. Jangan tertulis“
Soebandrio hanya mengingat, bahwa para jenderal melotot padanya, karena usulannya ke Bung Karno.
Lalu Soebandrio dan Chaerul Saleh ikut memberi masukan. Surat tadi dikoreksi. Ada empat hal. Pertama, Presiden Sukarno memberikan mandat ke Jenderal Soeharto utk mengamankan Jakarta, juga harus kerja sama dengan unsur unsur kekuasaan lainnya. Kedua, penerima mandat wajib melaporkan semua tindakan ke presiden. Ketiga, penerima mandat wajib mengamankan Presiden dan keluarganya. Keempat. Penerima mandat wajib melestarikan ajaran ajaran Bung Karno.
Setelah itu giliran para Jenderal yang tidak puas dengan rumusan Soebandrio, karena mengecilkan wewenang Jenderal Soeharto. Setelah jedah sholat magrib. , mereka kembali merumuskan lagi kembali surat pemberian kewenangan itu. Baru konsep itu diketik oleh Jenderal Sabur.
Mengenai kontroversi bahwa surat itu diketik atas kop surat Markas Besar Angkatan Darat. Jenderal Sabur mengatakan,
“Tepatnya Bung Karno dan para Jenderal mencorat coret di kertas kosong. Tapi saya lupa ketika saya menyalin ke mesin tik itu memakai kertas kop surat AD atau bukan. Yang jelas saya mengetik di pavilion sebelah. Ada Bu Hartini dan ajudan Mangil yang melihat saya mengetik.“
Lalu ketikan itu dibawa kembali ke ruang tengah. Setelah dibaca bersama, lalu Bung Karno meminta pendapat Leimena, yang dijawab.
“No comment ik laat het helemaal aan u over. Saya serahkan sepenuhnya kepada anda.“
Chaerul Saleh minta agar Presiden shalat dahulu sebelum mengambil keputusan. Dan yang paling akhir adalah pendapat dari Soebandrio.
“Als u deze brief tekent dan valt u in the trap. Kalau surat ini ditandatangani, sama saja masuk perangkap “
Para Jenderal semakin kesal dengan Soebandrio. Jenderal Yusuf sudah memberi kode ke Jenderal Amir Mahmud agar menyikat Soebandrio kelak. Suasana semakin menegangkan. Semua merasakan jarum jam seperti berhenti. Tak ada yang berani meninggalkan tempat itu. Jenderal Amir Mahmud sudah membayangkan kecewanya Soeharto jika mereka kembali ke Jakarta dengan tangan kosong.
Tiba tiba Bung Karno bertanya ke Amir Mahmud, sekali lagi meminta pendapat Jelas ada keraguan dimata Bung Karno.
“Sudahlah Pak. Bismilahhirrrahmannirahim saja.“ Jawab Panglima Jakarta ini.
Akhirnya Bung Karno menandatangani surat yang kita kenal sebagai Supersemar sekarang ini.
Ada lagi yang menarik bahwa kita mengenal Supersemar cuma satu lembar kertas. Sementara Jenderal Sabur mengatakan,
“Bukan selembar. Saya mengetik dalam 2 kertas. Dan masing masing rangkap tiga. Bung Karno hanya menandatangani kopi utama. Kertas itu yang dibawa Pak Basuki Rahmat ke Pak Harto. Sementara kopi atau tindasan nomer dua, saya simpan. Pak Yusuf menyimpan tindasan paling bawah atau kopi nomer tiga.“
Surat Perintah Sebelas Maret itu dibawa Brigjend Soecipto – Ketua KOTI, dan diberikan ke Kolonel Budiono, sekretaris MBAD yang membawa surat itu ke kantor G V – Koti di Merdeka Barat untuk di foto copy karena dikantor MBAD tidak ada mesin fotocopy. Mantan Mensesneg Moerdiono kelak mengatakan bahwa ia sempat meminta fotocopian sebagai dasar hukum penyiapan pembubaran PKI. Namun tidak diberikan oleh Budiono. Setelah Budiono meninggal, hilang juga surat otentik itu.
Jend. Yusuf sendiri tidak tahu kalau surat yang terdiri dari 2 lembar bisa dipersingkat jadi satu lembar. Itu mungkin terjadi dalam perjalanan dari Soeharto menuju Markas besar AD. Tapi apapun itu, menurutnya isi surat itu sama dengan apa yang dia lihat di Bogor.
Sejahrawan Ben Anderson menambahkan berdasarkan riset wawancara dengan Prajurit Cakrabirawa yang membawa mesin tik itu, bahwa besar kemungkinan surat utama yang dibawa ke Soeharto bisa menimbulkan gejolak. Dalam arti, ada kesan AD memaksa Presiden menandatangani. Sehingga Soeharto memerintahkan untuk menyalin lagi ke kertas lain. Mungkin ini yang tidak disadar bahwa penyalinan justru dibuat ke satu satu lembar. Walaupun tanpa kehilangan esensi isi surat tersebut.
Ternyata memang Jenderal Soeharto membubarkan PKI dengan landasan Supersemar. Ini membuat Bung Karno merasa Jenderal Soeharto telah melangkah terlalu jauh dalam urusan politik.
Tanggal 13 Maret Jenderal KKO Hartono menemani Pak Leimena mengantar surat perintah baru yang dikeluarkan Bung Karno ditujukan ke Jenderal Soeharto. Isinya semacam surat koreksi terhadap penyimpangan dalam aplikasi Supersemar, yakni membubarkan PKI tanpa melaporkan tindakannya kepada Presiden. Setelah membacanya. Pak Harto tidak membantah ada penyimpangan. Ia menjawab secara lisan, semua yang dilakukan menjadi tanggung jawabnya sendiri.
“Ya saya memang harus melakukan itu. Hari itu juga saya membubarkan PKI tanpa berkoordinasi dengan panglima angkatan lain dan Bung Karno. Ini yang dinamakan strategi , bukan insubordinasi. Surat susulan dari Bung Karno tanggal 13 Maret tak perlu saya hiraukan. Karena saya punya kekuatan di belakang saya. Mahasiswa, Angkatan Darat dan Rakyat yang marah“
Soeharto bahkan berani membuat maklumat Presiden No 5 yang ditanda tangani atas nama Presiden Sukarno, tanpa setahu Bung Karno. Maklumat ini untuk menangkap 15 menteri menteri yang dicurigai sebagai simpatisan Komunis.
Sejarah memang tidak bisa diulang kembali. Surat Perintah yang sudah keluar itu menjadi senjata pamungkas untuk menurunkan Bung Karno sendiri. Sejarah telah ditulis dan rezim baru meneruskan catatan tentang negeri ini.
Sumber: Buku Semua Tentang Soekarno & Soekarno Sang Guru Bangsa
Tags
History