Tata Hukum di Indonesia pada Masa VOC (1602-1799)

Sebelum kedatangan orang-orang Belanda pada tahun 1596 di Nusantara, hukum yang berlaku pada umumnya adalah hukum yang tidak tertulis atau dikenal dengan sebutan hukum adat.




Sebelum kedatangan orang-orang Belanda pada tahun 1596 di Nusantara, hukum yang berlaku pada umumnya adalah hukum yang tidak tertulis atau dikenal dengan sebutan hukum adat. Setelah orang-orang Belanda ada di Indonesia dan mendirikan perserikatan dagang yang dikenal dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), di Nusantara mulai terjadi dualisme tata hukum yang berlaku, yaitu :
Hukum Adat
Hukum Belanda
Hukum Belanda dalam hal ini adalah hukum yang berlaku bagi orang eropa, khususnya Belanda di pusat-pusat dagang VOC. Pada awalnya hukum Belanda yang diterapkan di daerah kekuasaannya adalah hukum yang berlaku bagi kapal-kapal VOC. Bagian terbesar hukum kapal tersebut adalah hukum disiplin (tucht recht). Namun pada akhirnya hukum Belanda juga diberlakukan kepada pribumi dalam beberapa hal. Menurut Utrecht, hukum Belanda yang berlaku di daerah kekuasaan VOC terdiri dari :[1]

Hukum Statuta (yang termuat dalam statuten van Batavia)
Hukum Belanda yang kuno
Asas-asas hukum Romawi
VOC dan Pemberlakuan Hukum Belanda
Masuknya hukum Belanda diawali dengan diberikannya hak octrooi kepada VOC oleh Staten Generaal, yaitu badan federatif tertinggi negara-negara Belanda. Dengan hak istimewa tersebut, VOC mulai mendominasi dengan melakukan monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian, dan mencetak uang. Setelah menguasai beberapa daerah dengan dukungan hak octrooi ini, tatanan hukum asing yang awalnya hanya berlaku dalam kapal VOC, mulai diberlakukan secara konkordansi bagi orang Belanda dan bagi pribumi yang mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian dengan orang Belanda.
Pada saat Pieter Both ditunjuk menjadi Gubernur Jenderal pertama (1610-1614), VOC diberi wewenang untuk membuat peraturan yang diperlukan di daerah yang dikuasainya. Peraturan yang dibuat tersebut diumumkan berlakunya melalui "plakaat". Karena tidak dikelola dan disusun dengan baik, terlebih pada periode tahun 1635-1946 terjadi pergolakan rakyat menentang monopoli perdagangan VOC. Karena itu, timbul kebingungan terkait plakaat yang masih berlaku dan mana yang sudah dicabut.
Untuk merapikan plakaat tersebut, Gubernur Jenderal Van Diemen (1636-1646) meminta bantuan Joan Maetsyucker, seorang pensiunan dari Hof Van Justitie (setingkat MA) untuk mengumpulkan dan menyusun plakaat yang telah diterbitkan. Pada tahun 1642, seluruh plakaat berhasil dihimpun, kemudian diumumkan dengan nama Statuten Van Batavia (Statuta Betawi). Statuta tersebut berlaku sebagai hukum positif dan memiliki kekuatan berlaku yang sama sebagaimana peraturan lain yang telah ada. Mengenai pemberlakuannya, Statuta Betawi ditujukan kepada orang pribumi maupun orang pendatang. Selanjutnya Pada tahun 1766 dihasilkan kumpulan plakaat ke-2 diberi nama Statuta Bara
Berlakunya peraturan VOC secara langsung tidaklah menghapus kaedah hukum adat yang berlaku. Untuk kepentingan orang pribumi, VOC tetap memberlakukan hukum adat, akan tetapi dengan melakukan campur tangan di jenjang peradilan adat.[2] Campurtangan tersebut dilandasi dengan alasan-alasan, bahwa :

Sistem hukum pada hukum adat, tidak memadai untuk memaksakan rakyat menaati peraturan-peraturan;
Hukum adat kalanya tidak mampu menyelesaikan suatu perkara, karena persoalan alat-alat bukti;
adanya tindakan-tindakan tertentu yang menurut hukum adat bukan merupakan kejahatan, sedangkan menurut hukum positif merupakan tindakan pidana yang harus diberikan suatu sanksi.[3]
Lahirnya Pakem Cirebon untuk dijadikan pegangan bagi hakim peradilan adat merupakan bentuk campur tangan VOC terhadap peradilan adat. Pakem Cirebon memuat sistem hukuman, seperti pemukulan, cap bakar, dan dirantai. Pada zaman ini daerah Nusantara, misalnya Aceh sudah dikenal sistem penghukuman yang kejam seperti hukuman mati bagi seorang istri yang melakukan perzinahan, hukum potong tangan bagi orang mencuri, hukuman menumbuk kepala dengan alu lesung bagi orang yang membunuh tanpa hak.[4]
Sebagaimana diketahui, VOC dinyatakan pailit dan dibubarkan pada 31 Desember 1799. Pailitnya VOC menjadi babak baru dimana Indonesia jatuh ke tangan inggris, di bawah kendali Gubernur jenderal Raffles. Pada jaman Raffles tidak banyak perubahan di bidang hukum. Akhirnya, dengan Konvensi London 1814, Inggris menyerahkan kekuasaan atas Indonesia ke tangan Belanda kembali.

[1] E. Utrecht. 1965. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II. Universitas, Bandung.
[2] Iwhaq. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Ed.1 Cet.1. Sinar Grafika, Jakarta. hlm. 16
[3] S.R. Sianturi. 1986. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan penerapannya. Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta. hlm. 43
[4] Iwhaq. Loc. Cit

Fabian SSK

“The quality, not the longevity, of one’s life is what is important.” – Martin Luther King Jr.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
Your Ads Here

Your Ads Here

Your Ads Here

Formulir Kontak