Tak Ingin Di Indonesia Terjadi Perang Seperti Di Korea, Bung Karno Memilih Mengalah Dari Soeharto




Potret Soekarno Sedang Menyampaikan Pidato Didampingi Oleh Soeharto

Menjelang akhir 1966, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) meminta Bung Karno, selaku mandataris MPRS, memberi laporan pertanggungjawaban. Bentuk pertanggungjawaban itu adalah berupa pidato terkonsep di depan MPRS yang hasil akhirnya akan ditentukan oleh MPRS melalui rapat pleno.

Meskipun sebetulnya belum waktunya memberi pertanggungjawaban, Presiden tetap memenuhi permintaan itu melalui sebuah pidato berjudul “Nawaksara”.

Isi pidato itu memuat sembilan pokok kebijaksanaan Presiden pra-G30S. Namun MPRS menolak. Soekarno lalu melengkapi pidato pertanggungjawabannya itu dan menyampaikannya pada 19 Januari 1967, melalui Pelengkap Nawaksara.
Lagi-lagi MPRS di bawah pimpinan Jenderal AH Nasution, satu-satunya jenderal yang selamat dari penculikan G30S, menolaknya.




Potret Soekarno Tengah Bersiap Untuk Memberikan Sambutannya

Melalui TAP MPRS No. XXXIII/1967, MPRS mencabut kekuasaan Soekarno dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden hingga pemilu diadakan. Soekarno merelakan kekuasaannya direnggut lawan-lawan politiknya.
Pasalnya, sejak jauh hari ia sadar, mempertahankan kekuasaan akan memerosokkan Indonesia ke dalam perang saudara.

“Dia tak mau Indonesia jadi Korea,” ujar Kolonel Maulwi Saelan.

Maulwi adalah pengawal setia Bung Karno yang juga menjabat sebagai Wakil Komandan Pasukan Elit Pengawal Presiden, Cakrabirawa, dan pernyataan itu ia tuliskan dalam buku otobiografi, Maulwi Saelan Penjaga Terakhir Soekarno.
Yang dimaksud Maulwi “Indonesia jadi seperti Korea” adalah pecahnya perang saudara di Korea (1950-1953) dan berakibatnya pada pecahnya Korea menjadi dua negara: Korea Utara dan Korea Selatan.





Potret Soekarno Saat Melantik Soeharto Menjadi Presiden

Sebenarnya dualisme kepemimpinan di Indonesia sudah mulai terjadi pasca-Gestapu. Kekuasaan Presiden Soekarno dibayang-bayangi terus oleh Mayjen Soeharto.
Tak ingin terjadi perpecahan, di hari-hari yang menegangkan itu Maulwi memberanikan diri mengusulkan agar Presiden Soekarno melakukan pertemuan dengan Soeharto.

Soekarno setuju dan memerintahkan Maulwi menjemput Soeharto ke Markas Kostrad. Dengan mengendarai jip, Maulwi menjemput Soeharto sendirian. Ia membawa Seoharto ke Istana Merdeka untuk bertemu empat mata dengan Presiden Soekarno.
Maulwi tak pernah tahu apa yang mereka bicarakan. Tapi tampaknya dalam pertemuan itu Bung Karno memilih mengalah kepada Soeharto.

Usai pertemuan, Maulwi kembali mengantarkan Soeharto ke Kostrad. Dan seperti biasa, Soeharto pun menutup mulutnya. Namun sejarah menunjukkan, tak lama setelah pertemuan di awal tahun 1966 itu, Soeharto semakin berkuasa, menggeser Soekarno.
Kehilangan segalanya, termasuk hak asasi, tak membuat Soekarno menyesal apalagi mendendam.

Maulwi ingat suatu hari di Istana Batu Tulis, Bogor, Soekarno pernah berkata kepadanya:
“Saelan, percayalah! Saya yakin bahwa nanti sejarah akan mengungkapkan kebenaran dan siapa yang sebetulnya benar, Soeharto atau Soekarno!”


Source: intisari grid

Fabian SSK

“The quality, not the longevity, of one’s life is what is important.” – Martin Luther King Jr.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
Your Ads Here

Your Ads Here

Your Ads Here

Formulir Kontak