Pokok-Pokok Hukum Adat Bali Tentang Perkawinan




Law Ilustrasi/Foto: Unblast


A. Prinsip Dasar Hukum Kekeluargaan di Bali
Masyarakat Bali secara umum menganut sistem kebapaan (Vederrechtelijk) atau dalam istilah Bali disebut Purusa. Hal utama yang dipahami dari sistem kebapaan di Bali adalah mengemukanya kedudukan anak laki-laki sebagai sentana dari garis keluarga purusa.


Menurut Korn (1932:29), sentana berasal dari kata ”santana” yang diartikan sebagai anak keturunan. Secara spesifik Korn menunjuk bahwa istilah sentana ini senantiasa (dalam keadaan biasa) dilekatkan kepada anak laki-laki. Anak laki-laki inilah yang kemudian dibentuk untuk meneruskan hak dan kewajiban serta keturunan keluarga.


Dalam perkembangannya kemudian lahir istilah ”sentana rajeg” dan ”sentana peperasan”. Istilah ”Sentana rajeg” digunakan untuk menyebut anak perempuan yang ditingkatkan kedudukannya sebagai anak sentana (dipersamakan sebagai laki-laki), pengangkatan ini berkaitan dengan alasan bahwa keluarga itu hanya melahirkan anak perempuan. Peningkatan seperti ini umumnya baru dilaksanakan ketika terjadinya perkawinan keceburin (menarik suami ikut masuk ke keluarga istri). Sedangkan sentana peperasan dipakai untuk menyebut anak angkat yang diangkat melalui upacara meperas.
Sistem Purusa yang melingkupi hukum keluarga di bali dapat dipahami dari prinsip-prinsip dasarnya yang mengemuka. Setidaknya terdapat tiga prinsip dasar yang dapat diejawantahkan dari sistem kekeluargaan Purusa ini, yakni :

Hak dan Kewajiban selalu lahir dari garis Purusa.
Berdasarkan prinsip ini, seorang anak hanya bertanggungjawab terhadap garis keturunan dari pihak ayah, sehingga yang masuk dalam silsilah keluarga seorang anak adalah individu-individu yang termasuk dalam keluarga pihak ayah saja.
Lepasnya kewajiban Pradana dari hubungan hukum kekeluargaan asalnya (Ninggal Kedaton) setelah terjadinya perkawinan.
Seorang anak (laki/perempuan) dilepaskan hubungan hukum kekeluargaannya dengan keluarga asalnya untuk selanjutnya masuk dalam lingkungan keluarga pihak Purusa (istri masuk ke keluarga suami untuk kasus perkawinan biasa atau suami masuk ke keluarga istri untuk kasus kawin nyeburin). Berakhirnya tanggungjawab hukum (hak dan kewajiban) seseorang di keluarga asalnya (orang tuanya dan kerabatnya) terhitung sejak dilaksanakannya upacara mepejati (atau disebut juga dengan istilah : mepamit). Selanjutnya melaksanakan tanggungjawab sekala niskala (lahir bathin) sebagai bagian dari keluarga Purusa.
Anak dari buah perkawinan selalu dihitung sebagai garis Purusa.
Sebagai konskuensi dari prinsip lahirnya hak dan kewajiban berdasarkan garis purusa, maka anak yang lahir dari suatu perkawinan yang sah selalu menjadi ”milik” atau dihitung sebagai bagian dari keluarga pihak purusa. (Bandingkan dengan, Windia & Sudantra, 2006:79).
B. Dinamika Bentuk-Bentuk Perkawinan di Bali
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dalam sistem kekeluargaan purusa, anak laki-laki lah yang merupakan ahli waris. Sepintas, tatanan hukum kewarisan yang sedemikian rupa terlihat begitu kaku dan sempit. Namun, jika diteliti dalam implementasinya, ternyata masyarakat masih dimungkinkan mengembangkan strategi tertentu sebagai konklusi.


Strategi masyarakat untuk menghadapi konsep kewarisan ini membawa kita masuk lebih dalam ke celah terkecil untuk dapat melihat persoalan lebih jernih bahwa kewarisan dan perkawinan adalah dua hal yang sungguh melekat dalam hukum adat Bali. Dalam kesimpulan tersendiri, penulis melihat bahwa hukum kewarisan sampai sejauh ini telah memantik dinamika dalam hukum perkawinan adat Bali, kemudian mempengaruhi fleksibelitas pilihan bentuk-bentuk perkawinan di Bali.


Kewarisan dalam hukum adat Bali selain melahirkan hak (swadikara) atas warisan, juga pada saat yang sama dibarengi oleh lahirnya kewajiban (swadharma) bagi si ahli waris. Bentuk kewajiban seorang ahli waris berwujud material maupun immaterial. Kewajiban-kewajiban yang dimaksud dalam hal ini antara lain:
kewajiban memelihara orang tua di masa tua;
kewajiban meneruskan generasi;
kewajiban melaksanakan penguburan atau upacara ngaben terhadap jenasah orang tua yang telah meninggal
kewajiban terhadap roh leluhur yang bersemayam di sanggah/merajan (tempat persembahyangan keluarga), dan
kewajiban-kewajiban kemasyarakatan, seperti melaksanakan kewajiban kepada kesatuan masyarakat hukum adat (banjar/desa pakraman/subak) di mana keluarga itu menjadi anggotanya. (Sudantra, 2011)
Pengabaian terhadap kewajiban (swadharma) tersebut, umum digunakan sebagai alasan untuk menggugurkan status seseorang sebagai ahli waris. Dengan adanya kewajiban-kewajiban tersebut, mengemukalah permasalahan-permasalahan yang kelak dihadapi oleh seorang anak yang akan melangsungkan perkawinan. Khususnya apabila terdapat keadaan dimana suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki, siapakah kelak yang akan menunaikan kewajiban-kewajiban tersebut? Dari permasalahan kewarisan inilah, kemudian bentuk perkawinan menjadi begitu fleksibel seiring perkembangan keadaan yang dihadapi, dimana pada awalnya hanya dikenal perkawinan biasa, kemudian berkembang suatu bentuk perkawinan nyeburin. Bahkan, pada saat sekarang ini, mulai mengemuka bentuk perkawinan pada gelahang. Secara singkat, ketiga bentuk perkawinan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
Perkawinan biasa
Dalam perkawinan biasa, suami berstatus sebagai purusa, sedangkan istri sebagai pradana. Dalam bentuk perkawinan ini, istri dilepaskan hubungan hukumnya dengan keluarga asalnya (orang tua kandungnya) selanjutnya masuk ke dalam lingkungan keluarga suaminya. Dengan demikian, hubungan hukum kekeluargaan antara istri dengan keluarga asalnya tidak ada lagi, selanjutnya ia menunaikan hak (swadikara) dan kewajibannya (swadharma) dalam keluarga suami.


Demikian juga dengan keturunan yang kemudian lahir dari bentuk perkawinan ini akan berkedudukan hukum dalam keluarga bapaknya, sehingga hak (swadikara) dan kewajiban (swadharma) anak didapatkan dari hubungan hukum keluarga dari garis bapak sebagai purusa. Bentuk perkawinan biasa ini dalam perkembangan prakteknya di masyarakat melahirkan jenis-jenis perkawinan, seperti :
Perkawinan Ngerorod atau Merangkat.
Perkawinan Mepadik
Perkawinan Jejangkepan
Perkawinan Nyangkring
Perkawinan Ngodalin
Perkawinan Tetagon
Perkawinan Ngunggahin
Perkawinan Melegandang
Perkawinan Nunggonin
Perkawinan Paselang

Dari jenis perkawinan tersebut, khusus untuk jenis perkawinan nunggonin atau matunggu dan perkawinan paselang, dalam prakteknya sudah ditinggalkan karena dianggap sudah tidak sesuai dengan keadaan jaman (Windia, dkk, 2009). Selanjutnya, mengenai jenis-jenis perkawinan yang masih dipraktekkan yang masuk dalam bentuk perkawinan biasa, diulas dalam tulisan terpisah berjudul, ”Jenis-Jenis Perkawinan yang Berdasarkan kepada Bentuk Perkawinan Biasa Menurut Hukum Adat Bali”.
Perkawinan Nyeburin
Bentuk perkawinan nyeburin di beberapa tempat lebih dikenal dengan sebutan nyentana atau nyaluk sentana (Korn,1978). Perkawinan nyeburin adalah kebalikan dari bentuk perkawinan biasa. Suatu perkawinan baru dapat dikatakan ”nyeburin” bukanlah semata-mata karena suami (umumnya) tinggal di rumah keluarga istri, akan tetapi didasarkan pada fakta bahwa upacara pengesahan perkawinan (pasakapari) dilaksanakan di rumah keluarga mempelai perempuan. Artinya keluarga mempelai perempuan-lah yang mengantarkan sajen-sajen pemelepehan (jauman) ke rumah keluarga mempelai laki-laki sebagai sarana untuk melepaskan hubungan hukum mempelai laki-laki terhadap keluarga asalnya (Panetja,1986:74).
Dalam kawin nyeburin atau nyentana, dapat disebutkan kemudian bahwa suami-lah yang berstatus sebagai pradana, sedangkan istri diangkat sebagai sentana rajeg dan ditetapkan sebagai purusa. Kedudukan suami sebagai pradana ini berarti bahwa suami telah lepas hubungan hukumnya dengan keluarga asalnya. Selanjutnya suami masuk dalam keluarga kepurusa istrinya. Sedangkan, mengenai keturunan yang kemudian lahir dari bentuk perkawinan ini yakni akan berkedudukan hukum dalam keluarga ibunya, sehingga hak (swadikara) dan kewajiban (swadharma) anak didapatkan dari hubungan hukum keluarga dari garis si ibu sebagai purusa.
Perkawinan Pada Gelahang
Pada gelahang merupakan bentuk perkawinan yang dapat dikatakan baru dalam topik hukum perkawinan menurut hukum adat Bali. Perkawinan pada gelahang ini diambil sebagai solusi tatkala terdapat keadaan di mana sang suami merupakan anak tunggal, kemudian istri juga merupakan anak perempuan tunggal. Keadaan seperti ini membuat tidak dimungkinkannya oleh kedua belah pihak untuk memilih bentuk perkawinan biasa maupun bentuk perkawinan nyeburin. Hal ini karena diantara kedua bentuk perkawinan yang disebut belakangan, mensyaratkan salah seorang (istri atau suami) harus putus dari hubungan hukum keluarga asalnya. Padahal baik istri dan suami sma-sama adalah anak tunggal, sehingga ditakutkan kewajiban-kewajiban kepurusa salah satu keluarga menjadi terbengkalai. Maka sebagai konklusinya, diperkenalkan bentuk perkawinan pada gelahang.
Perkawinan pada gelahang secara upacara hampir sama dengan perkawinan biasa maupun perkawinan nyeburin. Perbedaan perkawinan pada gelahang dengan dua bentuk perkawinan lainya hanyalah terletak pada adanya kesepakatan antara kedua mempelai dan keluarganya. Kesepakatan tersebut dibuat sebelum terjadinya perkawinan, yang memuat bahwa kedua pihak sepakat melaksanakan perkawinan pada gelahang, dengan intinya ialah menegaskan bahwa perkawinan dilangsungkan dengan maksud agar keluarga kedua belah pihak sama-sama memiliki keturunan.
Keturunan yang lahir dari bentuk perkawinan pada gelahang, sesuai kesepakatan nantinya diharapkan dapat mengurus dan meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka. Dimana ibu dan bapaknya dalam hal ini, masih sama-sama tidak putus dari hubungan hukum keluarga asalnya, sehingga keduanya masih ada dalam garis kepurusa keluarga asalnya masing-masing. Sehingga anak yang lahir dari bentuk perkawinan ini menjadi ahli waris atas kewajiban (swadharma) maupun yang berupa hak (swadikara) dari keluarga ibu dan keluarga bapak.
Bentuk perkawinan ini dalam prakteknya memang masih terjadi pro dan kontra di masyarakat. Apakah praktek perkawinan demikian dapat dianggap sah menurut agama dan adat. Terlepas dari pro dan kontra tersebut, bentuk perkawinan ini telah mendapatkan penguatan berdasarkan Keputusan Pasamuan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman tanggal 15 Oktober 2010.
C. Umur dewasa untuk Kawin
Untuk dapat kawin, maka laki-laki dan perempuan harus ”sudah dewasa”. Tidak ada ketentuan yang definitif untuk ukuran ”sudah dewasa” ini. Apabila ditelusuri dalam pergaulan masyarakat, ukuran dewasa ini umunya digambarkan sebagai kondisi ”menek bajang”. Menek bajang dalam hal ini adalah setelah wanita datang bulan pertama, dan setelah laki-laki berubah suara (ngembakin).(Artadi, 2006:175) Peristiwa menek bajang ini biasanya dikuatkan dengan suatu upacara yang disebut ”Ngeraja Sewala”.(lihat Panetja, 1986 : 63) Dengan kata lain, menurut hukum adat bali, dewasa tidak melulu tergantung kepada umur seseorang, melainkan lebih kepada soal kejadian biologis yang meliputinya.
D. Sahnya Perkawinan
Secara pasti, belum dapat dilacak suatu sumber dalam kazanah hukum perkawinan adat bali yang menyebutkan dalam hal bagaimanakah suatu perkawinan dapat dianggap sah. Demikian juga VE Korn menulis bahwa tidak ditemukan kepastian tentang upacara manakah yang membuat suatu campur hidup antara laki-istri menjadi perkawinan sah (Panetja, 1986:67). Ketidakpastian ini dikarenakan oleh otonomnya desa-desa di Bali, sehingga perbedaan-perbedaan pandangan soal sahnya perkawinan pun tidak mungkin bisa dihindari.
Untuk mencapai kepastian mengenai bahasan sahnya suatu perkawinan, sebagian besar para peneliti hukum adat Bali merujuk kepada putusan pengadilan ”Raad Kerta” dan pengadilan negeri sebagai yurisprudensi. Menurut penelusuran yang dilakukan oleh Panetja (Ibid), didapatkan kesimpulan bahwa campur hidup antara laki dan perempuan disebut perkawinan sah adalah sesudah kedua mempelai melakukan upacara mebyakawon (mebyakala). Pendirian demikian tersirat dalam :

Putusan Raad Kerta Singaraja tanggal 11 April 1932 No. 49/Civiel mengenai perkawinan di desa Jinengdalem, Distrik Buleleng.
Putusan Raad Kerta Singaraja tanggal 14 Oktober 1932 No. 290/Crimineel.
Putusan Pengadilan Negeri Singaraja 1959/Crimineel
E. Perkawinan Terlarang
Perkawinan terlarang dalam hukum adat bali disebut sebagai pelanggaran adat ”Gamia Gamana” sebagaimana tertuang dalam Paswara Residen Bali dan Lombok Tahun 1927. Menurut Paswara itu hukuman bagi seseorang yang melakukan pelanggaran adat Gamia Gamana dihukum buang (selong) selama maksimum 10 tahun. Pelanggaran adat Gamia Gamana ini meliputi :

Perkawinan antara orang-orang yang berkeluarga dalam garis kencang ke atas atau ke bawah;
Antara mertua dengan manantu (baik laki maupun perempuan);
Antara bapak tiri dengan anak tiri atau antara ibu tiri dengan anak tiri (laki);
Antara paman dengan kemenakan perempuan atau bibi dengan kemenakan laki;
Antara saudara;
Antara seorang lelaki dengan bibinya derajat satu kali. (Artadi, 2006:176)
Sebelum tahun 1951 dikenal juga larangan untuk mengawini perempuan yang memiliki wangsa yang lebih tinggi dalam catur wangsa yang dikenal dengan Asu pundung dan Anglangkahi Karang Hulu. Larangan ini dimuat dalam Paswara tahun 1910 yang diubah dengan besluit Residen Bali dan Lombok Tanggal 13 April 1927 No. 532. Larangan tentang perkawinan Asu Pundung dan Anglangkahi Karang Hulu ini pada tahun 1951 telah dicabut dengan diterbitkannya Paswara DPRD tanggal 12 juli 1951 No.11. walaupun dalam kenyataannya Asu Apundung dan Anglangkahi Karang Hulu sudah dihapuskan sebagai suatu tindak pidana, akan tetapi dalam prakteknya di masyarakat masih terjadi dimana perempuan berkasta lebih tinggi yang kawin dengan kastra lebih rendah tidak akan dianggap lagi oleh keluarga asalnya. Apabila kemudian terjadi perceraian, keluarga asalnya tidak akan menerima kembali perempuan tersebut sebagai bentuk hukuman. Sebaliknya, apabila perkawinan dilakukan oleh laki-laki yang berkasta lebih tinggi dari perempuan, maka perempuan tersebut berganti nama dan naik derajat menjadi ”Jero” atau dipanggil juga ”Mekele” (Jero Mekel).
Larangan perkawinan lainnya adalah berlaku bagi perempuan, dimana perempuan tidak diperkenankan untuk mengawini lebih dari satu laki-laki (polyandrie). Pelanggaran atas ketentuan ini menimbulkan tindakan pidana adat Drati Krama. Dalam perkembangannya, sanksi atas tindakan pidana adat Drati Krama mengacu pada ex Pasal 284 KUHP. Hal ini berlaku sejak digantikannya pengadilan Raad Kerta oleh Pengadilan Negeri.


Daftar Pustaka
Ketut Sudantra. 2011. Tri Semaya Hukum Adat Bali: Potret Perkembangan Hak Perempuan Bali Dalam Hukum Keluarga. Makalah disampaikan pada seminar dengan tema: ”Perempuan dalam Budaya, Adat, dan Teologi Hindu”, yang diselenggarakan oleh Program Studi Magister (S2) Brahma Widya Program Pascasarjana IHDN Denapsar, di Denpasar, tanggal 21 Desember 2011.
I Ketut Artadi. 2003. Hukum Adat Bali, Dengan Aneka Masalahnya. Cet. III. Pustaka Bali Post. Denpasar.
Gede Panetja. 1986. Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali. CV. Kayumas Agung. Denpasar.
Windia, Wayan P, dkk., 2009. Perkawinan Pada Gelahang di Bali, Udayana University Press, Denpasar.

Fabian SSK

“The quality, not the longevity, of one’s life is what is important.” – Martin Luther King Jr.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
Your Ads Here

Your Ads Here

Your Ads Here

Formulir Kontak